JAKARTA - Panitia Kerja (Panja) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) mengklaim semua fraksi setuju dimasukkannya pasal penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Persetujuan akan hal tersebut hanya disampaikan secara lisan dalam rapat Tim Perumus (Timus).
"Jadi, adalah fraksi mungkin belum membuat pernyataan. Tetapi anggota fraksi yang hadir di Timus, semua setuju masalah itu. Tidak ada perbedaan pendapat," kata Anggota Panja RKUHP dari Fraksi Nasdem, Taufiqulhadi, di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (7/2/2018).
Taufiqulhadi menegaskan, persetujuan terhadap beleid itu tidak datang dari dua partai saja, melainkan semuanya. Pasalnya, belakangan ini tersiar kabar bahwa hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Nasdem yang menyetujui pasal tersebut.
"Semua fraksi setuju. Itu tidak benar yang seperti itu (tidak setuju)," jelas dia.
(Baca Juga: Fahri Hamzah Anggap Pasal Penghinaan Presiden Kemunduran Demokrasi)
Dia memastikan persetujuan semua fraksi terhadap pasal tersebut bukan untuk mengamankan posisi Presiden Joko Widodo. Sebab, pasal penghinaan presiden baru akan berlaku efektif dua tahun lagi apabila nantinya disahkan.
"Jangan sekali-kali berpikir bahwa kalau kami setuju, saya setuju, misalnya untuk melindungi presiden yang sekarang. Kalau presiden sekarang itu terpilih lagi, kalau tidak, kan ini kan baru efektif dua tahun setelah disahkan," ungkap Taufiqulhadi.
"Kedua, RKUHP ini untuk seratus (tahun) yang akan datang, jadi kita tidak boleh personal ketika membahas masalah. Jadi harus menjaga jarak, karena ini untuk bangsa," lanjutnya.
(Baca Juga: Setuju Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP, JK: Menghina Anjing Raja Thailand Saja Bisa Dihukum)
Senada dengan Taufiqulhadi, anggota Panja RKUHP dari Fraksi Golkar, Adies Kadir, mengatakan secara substansi, seluruh fraksi sudah menyepakati masuknya pasal tersebut dalam RKUHP.
"Substansinya memang semua fraksi sudah setuju. Tetapi tata bahasanya masih perlu diperbaiki," ujarnya.
Menurut dia, fraksi di DPR hanya keberatan terkait dua hal. Pertama, perihal tata bahasa dalam pasal yang tengah dibahas, dan kedua terkait lamanya masa hukuman.
"Itu masih kita minta supaya dipelajari kembali. Memang untuk pasal penghinaan presiden ini masuk di delik aduan. Bukan delik umum atau biasa," terang Adies.
Dia menambahkan, secara substansi ada perubahan terkait sifat delik pidana. Dalam RKUHP yang tengah dibahas, deliknya bersifat aduan. Berbeda dalam KUHP lama yang deliknya bersifat umum.
Artinya, kata dia, jika ada seseorang yang menghina, maka presiden dan wakil presiden sendiri yang langsung melayangkan laporan ke kepolisian.
"Jadi, presiden dan wapres apabila merasa dicemarkan nama baik, beliau harus melapor sendiri. Bukan orang lain. Sekarang kan tinggal presiden kita beliau mau lapor enggak. Jadi, ini tidak seperti yang lalu. Ini delik aduan. Dan pengadu harus presiden," pungkasnya.
(Arief Setyadi )