JAKARTA – Kewenangan jaksa atas nama asas dominus litis yang bakal dilegalisasi melalui Revisi UU Kejaksaan dan KUHAP menuai sorotan. Sebab, hal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum, seperti kasus yang tengah ramai sekarang.
"Kasus pagar laut Tangerang dan kasus timah adalah dua contoh ketidakpastian hukum yang disebabkan oleh kewenangan berlebih jaksa," ujar Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi dalam keterangannya, Rabu (12/2/2025).
Dalam kasus pagar laut Tangerang misalnya, kata Haidar ditangani tiga lembaga penegak hukum, yakni Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Polri. Kejaksaan dan KPK mengusut kasus dugaan korupsinya, sementara Polri dugaan pidana umum.
"Antara KPK dan Kejaksaan dua lembaga penegak hukum menangani satu kasus korupsi jelas tidak efisien dan menyebabkan ketidakpastian hukum," imbuhnya.
Haidar mendorong perlunya KUHAP mengatur ada pemisahan fungsi kewenangan penegak hukum, sehingga tidak terjadi hal semacam itu. Misalnya, KPK diberi tugas pemberantasan tindak pidana korupsi digabungkan dengan fungsi penyidikan dan penuntutan.
Sedangkan Jaksa sebagai penuntut umum dan hakim sebagai pengadil. Sementara Polri dan PPNS sebagai penyidik. "Namun kewenangan jaksa sebagai penyidik tindak pidana tertentu dalam UU Kejaksaan telah mengganggu keteraturan penegakan hukum tersebut. Padahal, tindak pidana tertentu bukan hanya korupsi. Kini, jaksa terkesan lebih KPK daripada KPK hingga menutupi fungsi utamanya sebagai penuntut umum," katanya.