Kasus timah juga menjadi contoh ketidakpastian hukum. Di mana, vonis hakim tak sesuai dengan besarnya kerugian dan dianggap sebagai korupsi terbesar.
"Dampaknya bukan hanya merugikan pelaku dan keluarga karena terlanjur mendapatkan predikat koruptor terbesar, tapi juga merugikan hakim karena dicap pro koruptor. Padahal, itu terjadi karena kegagalan jaksa membuktikan tuntutan dan dakwaannya di pengadilan," tuturnya.
Ditambah dengan persoalan penghitungan kerugian Negara yang diralat. Kejagung menyampaikan Rp271 triliun, yang selanjutnya diralat menjadi Rp300 triliun. Kejagung memperoleh dari hasil audit BPKP dan perhitungan ahli.
Kerugian itu Rp271 triliun dianggap dari kerugian ekologis. Kemudian, Rp29 triliun kerugian keuangan. Sementara vonis hakim, uang yang diterima 17 terdakwa tidak sampai Rp15 triliun yang artinya ada selisih mencapai Rp285 triliun dari dakwaan jaksa.
"Harusnya kan audit kerugian negara itu dihitung dan diumumkan oleh BPK bukan BPKP. Lalu, dilampirkan sebagai alat bukti. Tapi ini tidak. Alias goib. Korupsi itu kerugian negaranya harus actual loss (nyata), bukan potential loss (perkiraan)," katanya..
Haidar menilai, jaksa bertindak sebelum jelas dan nyata kerugian Negara berdasarkan audit BPK. Di mana, jaksa lidik sendiri, sidik sendiri, kemudian menentukan auditor sendiri yang ternyata keliru dan mereka tuntut sendiri.