Versi kedua, Supersemar diterima dari Pusat Penerbangan TNI AD. Namun, jumlah lembar halamannya berbeda, karena hanya ada satu helai dan tulisannya yang diketik tidak serapi surat pertama. Surat tersebut disertai kop Burung Garuda dan penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah Bahasa Indonesia yang berlaku ketika itu. Hal lain yang membedakan versi pertama dan kedua yaitu keterangan nama pada bubuhan tanda tangan yang tertulis 'Soekarno'.
Supersemar versi ketiga berasal dari Yayasan Akademi Kebangsaan dengan keadaan yang robek dan tidak utuh. Selain itu, sehelai surat tersebut mempunyai kop yang tidak jelas dan hanya berupa salinan. Bentuk tanda tangan milik Sang Proklamator juga berbeda dari kedua versi lainnya.
(Baca: Proses Supersemar dari Kacamata Sejarawan)
Berbagai sumber berasumsi bahwa naskah asli Supersemar disimpan pada sebuah bank di luar negeri. Sedangkan sumber lainnya mengatakan bahwa naskah asli sebenarnya sudah tidak ada untuk tujuan tertentu.
Selain tentang keberadaan naskah aslinya, cerita mengenai proses terciptanya Supersemar ini juga menyebabkan kontroversi. Syamdani dalam bukunya 'Kontroversi Sejarah Indonesia' menceritakan bahwa ada mantan anggota Tjakrabirawa, Letnan Dua Soekardjo Wiladjarto, yang menyaksikan proses penandatanganan surat di bawah todongan pistol.
Dalam bukunya, Syamsudin menuliskan bahwa empat anggota Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) yang bertandang ke Istana Bogor dan menemui Soekarno dengan membawa map merah muda yang berisi surat. Wiladjarto melihat salah satu anggota menyodorkan surat kepada Bung Karno dan todongan pistol yang hanya berjarak 3 meter di belakang Soekarno.
(Baca: Kejaksaan Agung Minta PN Jaksel Eksekusi Aset Yayasan Supersemar)
Jika hal itu memang benar terjadi, maka kelahiran Supersemar ini dikatakan sebagai kudeta. Namun lagi-lagi, kebenaran mengenai kejadian tersebut belum dapat dipastikan kebenarannya oleh siapa pun.
Walaupun catatan sejarah tersebut memang sudah berlalu selama 52 tahun, misterinya masih dianggap belum "lurus". Bila dahulu kepentingan penguasa selalu saja membentuk sebuah sejarah maka sudah saatnya sekarang sejarah yang tertoreh diungkap dengan sebenarnya.
(Hantoro)