Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Meneladani Toleransi Beragama Desa "Pancasila" Balun

Avirista Midaada , Jurnalis-Senin, 21 Mei 2018 |17:23 WIB
Meneladani Toleransi Beragama Desa
Gerbang masuk Desa Balun. Foto: Okezone/Avirista
A
A
A

SATU KILOMETER dari Jalan Raya Babat-Surabaya, ada satu desa yang terkenal karena sikap toleransi masyrakatnya.

Nama desa itu, Desa Balun. Secara administratif masuk di Kecamatan Turi, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur.

Masyarakat di Desa Balun hidup rukun dengan keyakinan agama yang berbeda. Islam, Kristen, dan Hindu saling mengisi kehdiupan di desa tersebut. Nama Desa Balun pun dinobatkan sebagai “Desa Pancasila” karena keberagaman masyarakatnya.

Ada sekitar 4.600 jiwa yang hidup di desa ini. Sebanyak 75 persen warganya adalah penganut penganut Islam, 18 persen agama Kristen dan sisanya agama hindu.

Ketiga agama tersebut hidup rukun berdampingan, bahkan ketiga tempat ibadah mereka berdekat.

Masjid Miftakhul Huda berdiri menghadap lapangan sepakbola. Di seberang lapangan sepakbola, berdiri Gereja Kristen Jawi (GKJ) Desa Balun. Sementara Pura berada tepat di belakang masjid.

Masjid di Desa Balun. Foto: Okezone/Avirista

Kepala Desa Balun Khusyairi mengungkapkan, suasana kebersamaan dan toleransi para warga desa sudah ada jauh sebelum dirinya menjabat kepala desa.

"Sama dengan daerah lain, agama di sini juga berkembang turun-temurun. Ada yang memeluk Islam, Kristen dan juga Hindu," ujar Khusyairi saat ditemui Okezone di rumahnya.

Bahkan serangan bom Surabaya, suasana pedesaan tampak tetap kondusif. Terlebih momentum saat puasa seperti saat ini, suasana toleransi begitu tinggi.

"Jangan harap yang non Islam akan terlihat merokok atau makan di luar saat seperti ini. Merokok saja tidak apalagi makan. Intinya ya mengerti lah, kalau saudara muslim sedang puasa," tambahnya.

Seorang warga desa, Komari (64) menuturkan keberagaman umat beragama di Balun pasca adanya peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965. Di mana setiap mereka yang masih menganut kepercayaan kejawen harus beralih ke lima agama yang diakui pemerintah.

Lalu menurut para sesepuh, ada seseorang tentara putra daerah Desa Balun yang sebelumnya bertugas di Sulawesi, bernama Mbah Batiyng menikah dengan warga desa sebelah dan memeluk agama kristen.

Dari sana ia mengajak warga yang belum memutuskan beragama untuk ikut dibaptis sebagai penganut agama kristen. Setelah itu Mbah Bati diminta warga mencalonkan kepala desa mengingat saat itu kondisi warga yang masih mencekam.

"Setelah jadi sebagai kepala desa. Mbah Bati ini meminta warganya yang di luar 5 agama yang diakui pemerintah untuk memilih masuk supaya menghindari pembunuhan massal," jelas Komari.

Gereja di Desa Balun. Foto: Okezone/Avirista

Ketua Gereja Kristen Jawi (GKJ) Desa Balun, Sutrisno mengungkapkan bahwa momentum bulan Ramadan menjadi salah satu contoh bagaimana toleransi begitu tinggi di Balun.

"Makanya kami menemui njenengan niki (kamu ini-red) kan ya tidak merokok, meski biasanya saya jedal jedul rokoknya, air putih juga saya masukan. Karena saya tahu njenengan (kamu) sedang puasa," tutur Sutrisno yang kediamannya hanya berjarak 20 meter Selatan Masjid Miftakhul Huda.

Saat Idul Fitri, pemeluk agama selain Islam saling bersilaturahmi ke pemeluk agama Islam untuk mengucapkan Idul Fitri. Begitupun saat kaum Kristiani merayakan hari raya Natal.

Saat perayaan Hari Raya Nyepi, semua masyarakat pun turut mengedepankan toleransinya dengan tak sembarangan keluar rumah.

"Di masjid lampu-lampu yang dekat pura dimatikan. Saat salat tidak pakai qori sebelum azan. Hanya azan yang pakai speaker. Kalau Jumatan, khotbah tidak pakai pengeras suara," ujar Ketua Ta'mir Masjid Miftakhul Huda,” Suwito.

Pura di Desa Balun. Foto: Okezone/Avirista

Bahkan karena toleransinya, umat Kristiani rela mengundurkan misa ibadah, bilamana umat Islam atau umat Hindu di saat bersamaan sedang menjalani proses ibadah.

"Dulu pernah waktu Natal bersamaan dengan Idul Fitri atau Idul Adha kalau tidak salah. Nah, karena umat Islam ibadahnya ditentukan waktu, jadi kami umat Kristen bisa menyesuaikan. Kita undur misa setelah umat Islam selesai salat Ied," tutur Sutrisno.

Menurut Sutrisno, umat Kristiani tak mempermasalahkan hal tersebut. Bahkan tak jarang di ibadah petang, bila bersamaan dengan jadwal Salat Maghrib, maka ibadah diundur.

"Begitupun kalau Muslim, kalau kita sedang ada ibadah bersamaan dengan salah satu waktu salat lima waktu misalkan, ya mereka tidak pakai qori, dan langsung azan menggunakan pengeras suara," ungkap Sutrisno.

Ceramah Menyejukkan

Pemuka agama Hindu Adi Wiyono mengatakan bahwa masing-masing tokoh agama selalu berkomitmen mengedepankan kerukunan baik internal maupun eksternal.

"Ya, kalau di Hindu, Darmawacana seperti khutbah di Muslim, kita sebarkan pesan-pesan kerukunan, perdamaian, dan toleransi antar umat," jelas Adi Wiyono yang juga Sekretaris Parisada Kabupaten Lamongan ini.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement