Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Bersaksi di Sidang BLBI, Mantan Petinggi BPPN Sebut Sjamsul Nursalim Belum Penuhi Kewajiban

Arie Dwi Satrio , Jurnalis-Kamis, 28 Juni 2018 |19:35 WIB
Bersaksi di Sidang BLBI, Mantan Petinggi BPPN Sebut Sjamsul Nursalim Belum Penuhi Kewajiban
Ilustrasi
A
A
A

Menurut Wakil Ketua BPPN saat itu yaitu Farid Harianto untuk obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) penyelesaian untuk pemegang saham yang punya aset yang cukup untuk membayar semua kewajiban menggunakan MSAA, sedangkan bila harta pemilik saham tidak mencukupi maka ada bentuk perjajian yang lain bernama "Master of Refinancing Lease Agreement" (MRLA) di mana pemilik saham membayar sejumlah harta yang ia miliki dan kekuarangan dari kewajibannya berarti ia berutang kepada pemerintah.

"Kewajiban untuk nasabah dijamin negara agar pemegang saham membayar kewajiban ke negara. Setelah bank ditutup, kemudian dana pihak ketiga dipindahkan ke bank yang masih hidup, intinya nasabah yang punya tabungan atau deposito di BDNI beralih ke bank lain dan bank-bank itu menyelesaikan kewajibannya dijamin oleh negara," tutur Farid.

Menurut Farid, aset yang harusnya diserahkan Sjamsul untuk membayar kewajiban dalam mekanisme MSAA adalah senilai total Rp28,408 triliun dengan rincian Rp1 triliun dalam bentuk tunai, saham Dipasena Rp19 triliun, saham gajah tunggal dan beberapa aset lainnya.

"Kenyatannya sampai saya dan Pak Glenn selesai (bertugas di BPPN) belum tertuntaskan. Rp1 trilun belum selesai dibayar, saham perusahaan juga ada 'due processnya' dan belum tuntas sama sekali," ungkap Farid.

Farid mengakui bahwa ia baru menerima laporan bahwa aset yang dilaporkan BDNI bermasalah saat dilakukan "financial due diligence" pasca-"release and discharge" (R&D) atau jaminan pembebasan dari proses maupun tuntutan hukum kepada obligor yang telah memenuhi kewajiban utang kepada BPPN dilakukan.

"Setelah melapor ke saya, ada indikasi bahwa kreditnya macet, tidak seperti yang dinyatakan saat memmuat MSAA, karena itu saya perintahkan ke PT Tunas untuk memakai akuntan publik untuk membuat 'due dilligence' di petambak dan laporan yang kami terima betul ternyata seluruh utang petambak tersebut macet. Saya terima laporan mungkin sekitar pertengahan 1999, hasil dari 'due dilligence' kita terima September atau Oktober 1999," ungkap Farid.

Farid adalah orang yang menandatangani surat R&D untuk BDNI karena saat itu Glenn tidak ada di tempat.

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement