MELIHAT kilasan kata "mati" selama 42,8 milisekon di layar komputer sudah cukup untuk memengaruhi cara kita bertindak dan terkadang berfikir untuk menjadi lebih baik.
Anda dan semua orang yang Anda kenal suatu hari nanti akan mati. Menurut beberapa pakar psikologi, kenyataan tak mengenakkan ini terus bercokol di pikiran kita dan pada akhirnya menjadi pendorong semua perbuatan kita, mulai dari beribadah, makan sayuran dan berolahraga, sampai memotivasi kita untuk punya anak, menulis buku, dan mencari teman.
"Seringkali kita menjalani kehidupan sehari-hari tanpa sadar, tanpa berpikir tentang mortalitas kita," kata Chris Feudtner, seorang dokter anak dan pakar etika di Rumah Sakit Anak Philadelphia dan Universitas Philadelphia.
"Kita bertahan dengan berfokus pada hal-hal yang lebih langsung di hadapan kita," lanjutnya.
Tapi, apa yang akan terjadi jika ambiguitas seputar akhir hidup kita tak ada lagi? Apa jadinya jika kita tiba-tiba diberi tahu tanggal pasti dan penyebab kematian kita?
Meski ini, mungkin saja tidak mungkin, pengkajian cermat akan skenario hipotetikal ini dapat mengungkap motivasi kita sebagai individu dan masyarakat dan memberi petunjuk tentang cara terbaik untuk menghabiskan waktu kita yang terbatas di Bumi ini.
Pertama-tama, mari tegaskan bahwa apa yang kita ketahui tentang kematian membentuk perilaku kita di dunia.
Pada tahun '80-an, para psikolog mulai tertarik dengan cara kita mengatasi kegelisahan dan rasa takut yang muncul dengan kesadaran bahwa kita sebenarnya tak lebih dari "sepotong daging yang bernafas, buang air, dan berkesadaran, yang bisa mati kapan saja," seperti dijelaskan Sheldon Solomon, profesor psikologi di Skidmore College, New York.
Teori manajemen teror, istilah yang diciptakan Solomon dan koleganya untuk temuan mereka, berasumsi bahwa manusia menerima kepercayaan yang dibentuk oleh budaya bahwa dunia punya makna, misalnya, dan hidup kita punya nilai demi menepis teror eksistensial yang bisa membuatnya tak berdaya.
Dalam lebih dari 1.000 eksperimen, para peneliti menemukan bahwa, ketika diingatkan bahwa kita akan mati, kita semakin menggenggam teguh keyakinan kultural kita dan terdorong untuk meningkatkan rasa penghargaan-diri. Kita juga menjadi lebih defensif akan keyakinan kita dan bereaksi dengan permusuhan terhadap apapun yang mengancamnya.
Bahkan sugesti yang sangat halus akan kematian – kilasan kata "mati" selama 42,8 milisekon di layar komputer, percakapan yang berlangsung di dekat rumah pemakaman – sudah cukup untuk memicu perubahan perilaku.
Seperti apakah perubahan itu? Ketika diingatkan akan kematian, kita memperlakukan mereka yang serupa dengan kita dalam penampilan, kecenderungan politik, asal geografis, dan kepercayaan agama dengan lebih baik. Sebaliknya, kita menjadi lebih membenci dan bersikap kasar terhadap orang yang tidak memiliki kesamaan tersebut.
Kita menunjukkan komitmen yang lebih dalam kepada pasangan romantik yang memvalidasi cara pandang kita. Dan kita cenderung memilih pemimpin karismatik dan tegas, yang mendorong ketakutan pada orang luar.
Kita juga menjadi lebih nihilistik, minum-minum, merokok, belanja, dan makan berlebihan—dan kita menjadi kurang peduli pada lingkungan.
Jika semua orang tiba-tiba mengetahui waktu dan cara hidup mereka berakhir, masyarakat dapat – dan mungkin akan – menjadi lebih rasis, xenofobik, kejam, gila perang, melukai-diri, dan merusak lingkungan daripada sekarang.
Tapi tidak selalu demikian. Peneliti seperti Solomon pada akhirnya berharap bahwa, dengan menyadari efek negatif yang disebabkan kegelisahan akan kematian, kita dapat mengatasinya.
Bahkan, para ilmuwan telah mencatat beberapa contoh orang-orang yang menentang tren ini.
Biksu Buddha di Korea Selatan, misalnya, tidak menanggapi pengingat kematian dengan cara-cara yang disebutkan tadi.
Para peneliti yang mengkaji gaya berpikir yang disebut "refleksi kematian" juga menemukan bahwa meminta orang-orang untuk memikirkan kematian, tidak hanya secara umum dan abstrak, tapi juga bagaimana tepatnya mereka akan mati dan apa dampak kematian tersebut pada keluarga mereka, menimbulkan reaksi yang sangat berbeda.
Dalam kasus itu, orang menjadi lebih altruistik—bersedia, misalnya, untuk menyumbangkan darah terlepas dari ada-tidaknya kebutuhan sosial akan itu. Mereka juga lebih terbuka untuk merenungkan peran peristiwa positif maupun negatif dalam membentuk hidup mereka.
Menurut temuan ini, mengetahui tanggal kematian bisa mendorong kita untuk lebih berfokus pada tujuan hidup dan ikatan sosial alih-alih merespon dengan kepicikan.
Ini benar terutama "jika kita mempromosikan strategi yang membantu kita menerima kematian sebagai bagian dari kehidupan, dan mengintegrasikan pengetahuan ini dalam perilaku dan pilihan kita sehari-hari," kata Eva Jonas, profesor psikologi di Universitas Salzburg,
"Pengetahuan tentang keterbatasan hidup dapat meningkatkan persepsi akan nilai kehidupan dan mengembangkan rasa bahwa 'kita semua menumpang perahu yang sama', mendorong toleransi dan kasih sayang serta mengurangi respon defensif," Jonas menambahkan.