Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Apa yang Akan Dilakukan Jika Tahu Kapan dan Bagaimana Kita Mati?

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Sabtu, 07 Juli 2018 |10:28 WIB
Apa yang Akan Dilakukan Jika Tahu Kapan dan Bagaimana Kita Mati?
Ilustrasi Pemakaman (foto: Okezone)
A
A
A

Terlepas dari reaksi masyarakat secara keseluruhan, reaksi kita pada tingkat individu terhadap pengetahuan akan kematian akan bervariasi, tergantung pada kepribadian dan perincian peristiwa besar tersebut.

"Semakin neurotik dan gelisah Anda, semakin pikiran Anda dipenuhi dengan dan tidak dapat berfokus pada perubahan hidup yang bermakna," kata Laira Blackie, asisten profesor psikologi di Universitas Nottingham.

"Tapi di sisi lain, jika Anda diberi tahu bahwa Anda akan mati dengan tenang pada usia 90 tahun dalam tidur, maka Anda juga tidak akan termotivasi untuk melakukan sesuatu—bersikap 'Oh ya sudah.'

Orang Tua Bahagia (foto: Getty Images/BBC) 

Tapi kapanpun ajal tiba, studi terhadap orang-orang dengan penyakit mematikan dapat mengungkap respon tipikal terhadap kematian. Orang tua dalam perawatan paliatif, kata Feudtner, seringkali mengalami dua fase berpikir.

Pertama, mereka mempertanyakan premis diagnosis: apakah kematian sudah tak terhindarkan atau masih bisa mereka lawan? Setelah itu, mereka merenungkan bagaimana cara memanfaatkan waktu yang tersisa sebaik-baiknya. Kebanyakan orang berakhir di salah satu kategori tersebut.

Proses yang sama kemungkinan akan terjadi di bawah skenario hipotetikal tentang tanggal kematian. "Bahkan jika Anda tahu bahwa Anda memiliki 60 tahun lagi, pada akhirnya harapan hidup itu akan diukur dalam hitungan beberapa tahun, bulan, dan hari," kata Feudtner.

"Ketika hitungan jam itu menjadi semakin dekat, saya pikir kita akan melihat orang-orang bergerak ke dua arah tersebut."

Mereka yang memilih untuk berusaha membatalkan kematian mereka akan menjadi terobsesi untuk menghindarinya, terutama ketika ajalnya semakin dekat.

Tapi orang lain mungkin akan melakukan sebaliknya—berusaha 'mencurangi' kematian yang sudah pasti dengan mengakhiri hidup dengan cara mereka sendiri. Ini memungkinkan mereka, untuk mengambil kendali prosesnya.

Jonas dan para koleganya mendapati, misalnya, ketika mereka meminta sejumlah orang untuk membayangkan bahwa mereka akan menderita kematian yang perlahan dan menyakitkan karena suatu penyakit, mereka yang diberi pilihan untuk menemui ajalnya sendiri – mengakhiri hidup mereka dengan cara yang mereka pilih – merasa lebih memegang kendali dan menunjukkan lebih sedikit bias terkait kegelisahan akan kematian.

Mereka yang memilih menerima kematian mereka juga akan bereaksi dengan berbagai cara. Sebagian akan terdorong untuk memanfaatkan sisa waktu mereka sebaik-baiknya. "Saya pikir mengetahui waktu kematian akan mengeluarkan sisi terbaik kita, memberi kita keleluasaan psikologis untuk melakukan lebih bagi diri sendiri dan bagi keluarga serta komunitas kita," kata Solomon.

Dan memang, ada buktidari studi terhadap korban trauma bahwa perasaan tentang keterbatasan waktu yang kita punya dapat mendorong pengembangan diri. Meski sulit untuk mengumpulkan data baseline dari orang-orang itu, banyak yang menekankan bahwa mereka telah mengalami perubahan yang mendalam dan positif.

"Mereka mengaku menjadi lebih kuat, lebih spiritual, lebih menghargai hidup, dan melihat lebih banyak kemungkinan positif," kata Blackie. "Mereka menyadari bahwa, 'Wow, hidup ini singkat, saya akan mati suatu hari nanti, saya harus memanfaatkannya sebaik-baiknya."

Merokok (foto: Getty Images/BBC) 

Tapi tidak semua orang akan menjadi lebih baik. Alih-alih, banyak orang mungkin akan memilih untuk bersikap masa bodoh dan berhenti memberikan kontribusi bermakna kepada masyarakat—bukan semata-mata karena mereka malas, melainkan karena mereka diliputi rasa kesia-siaan.

Seperti dikatakan Caitlin Doughty, seorang pemilik perusahaan pemakaman: "Apakah Anda akan menulis kolom ini jika Anda tahu bahwa Anda akan mati pada Juni tahun depan?" (Jawabannya, mungkin tidak).

Rasa kesia-siaan juga bisa menyebabkan banyak orang menyerah dalam mengadopsi gaya hidup sehat. Jika kematian telah ditetapkan pada satu waktu tertentu, apapun yang terjadi, "Saya tidak akan repot-repot makan makanan organik lagi. Saya akan minum-minum, dan mungkin mencoba obat terlarang," kata Doughty.

Tapi kemungkinan besar, kebanyakan orang akan berubah-ubah antara menjadi sangat termotivasi dan niihilistik, kata Solomon. Tapi di manapun kita berada dalam spektrum itu, bahkan orang paling tercerahkan di antara kita – terutama semakin dekat dengan waktu kematian – akan sesekali "gemetar ketakutan".

"Perubahan selalu membuat stres," Feudtner setuju. "Di sini kita bicara tentang perubahan terbesar yang bisa terjadi pada suatu individu—dari hidup menjadi tidak hidup."

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement