Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Gempa Palu: Antara "Hukuman Tuhan" dan Penjelasan Ilmu Pengetahuan

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Jum'at, 19 Oktober 2018 |08:36 WIB
Gempa Palu: Antara
Masjid Akhram Babul Rahman di Kota Palu terdampak gempa dan tsunami. (Foto: BNPB)
A
A
A

SIKAP sebagian Muslim di Kota Palu dan sekitarnya yang mengaitkan gempa dengan "hukuman Tuhan" harus diimbangi dengan pemahaman bahwa beragama itu memerlukan ilmu pengetahuan. Hal itu sebagaimana diungkapkan pemikir keislaman.

Akbar, warga kampung Kabonena, Kota Palu, Sulawesi Tengah, yang kehilangan putranya akibat likuefaksi di perumahan Balaroa, meyakini bahwa gempa di Palu dan sekitarnya tidak terlepas dari "hukuman Tuhan" akibat ulah manusia.

"Katanya sih ada lempengan (bumi) yang melalui Palu. Tapi, menurut saya, salah-satu faktor utama adalah (praktik) mistis (yang digelar dalam Festival Nomoni di Kota Palu)," ungkapnya saat dihubungi BBC News Indonesia, Kamis 18 Oktober 2018.

Akbar tidak memungkiri bahwa bencana itu akibat pergeseran patahan Palu Koro, tetapi dia mengaku tidak dapat melepaskan dari keyakinannya dalam menafsir ajaran Islam dalam melihat bencana itu.

Dia kemudian merujuk kepada acara yang digelar pemerintah Kota Palu di pinggir pantai, Festival tidak lama sebelum gempa mengguncang wilayah itu, yaitu Festival Nomoni, yang disebutnya ada praktik syirik - menyekutukan Tuhan - di dalamnya.

"Karena sudah beberapa kali diadakan (Festival) Palu Nomoni, selalu ada kejadian buruk yang menimpa warga," ungkapnya.

Apa yang diutarakan Akbar ini juga diyakini oleh sebagian warga kota Palu, walaupun tak sedikit pula yang mempertanyakannya.

Infografis 5 bencana di Indonesia. (Foto: Okezone)

Apa Komentar Pegiat dan Pendidik Asal Sulteng?

Chalid Muhammad (52), aktivis LSM yang dilahirkan di Parigi, Sulawesi Tengah, mengaku juga banyak mendengar asumsi di sebagian masyarakat Kota Palu yang menautkan bencana alam itu dengan persoalan agama.

"Sebagian besar yang saya temui (di Palu dan sekitarnya) menyalahkan ini kaitannya dengan perbuatan syirik," kata Chalid kepada BBC News Indonesia, Kamis 18 Oktober 2018.

Namun demikian, sambungnya, sebagian masyarakat Islam di wilayah itu ada pula yang bersikap "moderat" yaitu tidak menautkannya dengan masalah agama, tetapi murni melihatnya sebagai masalah alam semata.

"Ada yang mencoba melihatnya lebih moderat dengan mengatakan bahwa di Palu sendiri ada beberapa sesar, salah satunya yang paling aktif adalah Palu Koro," papar mantan Ketua LSM Walhi dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) ini.

Adanya dualisme pandangan di kalangan umat Islam di Palu dan sekitarnya, menurutnya, membuktikan "agak sulit" untuk menghilangkan salah-satu diantaranya.

"(Karena) sekarang menjadi keyakinan di tingkat masyarakat," ungkap Chalid, yang saat ini terlibat dalam jaringan relawan Koalisi Sulteng Bergerak untuk membantu pemulihan Palu dan sekitarnya pasca gempa.

Dia kemudian mengusulkan agar digelar dialog rutin untuk mempertemukan "sudut pandang" berbeda di kalangan masyarakat Palu itu agar tidak terjadi "benturan nilai" di antara orang-orang yang menjalani keyakinan itu.

"Harus ada pendekatan antropologis, ada pendekatan religius, ada dialog-dialog yang harus dibuka dengan tokoh-tokoh agama, tokoh-tokoh adat, sehingga persoalan ini lebih jernih," katanya.

Menurutnya, ini bisa dilakukan setelah Palu dan sekitarnya "pulih".

Kondisi Palu dipantau dari satelit pascagempa dan tsunami. (Foto: Digital Globe)

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement