“Misalnya moratorium selama tiga tahun saja untuk pengiriman jemaah umrah. Meski soal ibadah dan menyangkut bisnis umrah juga di dalam negeri, tapi ini menyangkut sikap Arab Saudi tidak mempertimbangkan adab politik diplomasi dengan Indonesia, yang juga punya sumbangan besar untuk devisa mereka dari jemaah haji dan umrah mengingat jumlahnya paling banyak se-dunia,” tukas Calon Anggota DPR Dapil DKI Jakarta II dari PKS itu yang juga mahasiswa doktoral (S-3) di Universiti Sains Malaysia ini.
Di sisi lain, Farouk menyebutkan, masih banyaknya TKI terutama buruh migran perempuan yang “unskilled” di Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya, setidaknya mengkonfirmasi masih ada persoalan mendasar dalam lapangan kerja di dalam negeri. Kaum perempuan terpaksa mengadu nasib di negara orang, karena terbatasnya lapangan pekerjaan yang layak di daerah daerah. Alhasil, mereka lebih memilih bekerja di luar negeri dengan berbagai ancaman dan risiko dari mulai tindakan kekerasan psikis, fisik, hingga pelecehan seks.
Karenanya pemerintah perlu mengevaluasi pendekatan pertumbuhan ekonomi karena pada hakekatnya tidak semua lapisan masyarakat menikmati hasil pembangunan dan angka-angka statistik pertumbuhan ekonomi yang selalu digadang-gadang. “Pemerintah jangan ‘happy’ dengan data statistik pertumbuhan ekonomi, siapa sebenarnya yang menikmati.
Lapangan pekerjaan masih sulit, kok. Kalau pekerjaan banyak tersedia dan pendapatannya memadai untuk kebutuhan hidup, TKW yang “unskilled” tidak perlu kerja di luar negeri yang penuh risiko,” tukas Farouk yang juga dosen Perbanas Institut dan Program MM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.
(Khafid Mardiyansyah)