Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menanggapi Darurat Kebebasan Beragama di China

Opini , Jurnalis-Sabtu, 05 Januari 2019 |15:05 WIB
 Menanggapi Darurat Kebebasan Beragama di China
Foto: Okezone
A
A
A

PERLAKUAN kontroversial pemerintah China terhadap Muslim Uighur, kelompok minoritas yang menghuni provinsi Xinjiang, ujung barat negeri Tirai Bambu itu telah menjadi sorotan dunia. Sejak awal 2018 lalu otoritas setempat telah mengesahkan kebijakan represif yang berdalih untuk memerangi ekstremisme agama. Kebijakan ini melahirkan sejumlah aturan kontroversial mulai dari pelarangan atribut agama, kampanye anti produk halal, batas minimal usia memasuki masjid, kewajiban pemuka agama untuk melaporkan naskah pidato sebelum dibacakan di muka umum, hingga yang paling masif yaitu program ‘re-edukasi’ di kamp-kamp khusus.

Pemerintah setempat menyatakan bahwa kamp-kamp tersebut merupakan pusat pendidikan dan pelatihan untuk memerangi ekstremisme agama. Namun, dalam praktiknya kamp tersebut menerapkan pendidikan ideologis, rehabilitasi psikologis, dan koreksi perilaku dengan menggunakan metode yang kerap tak manusiawi, baik secara fisik maupun mental. Menurut laporan Amnesty International, jumlah muslim Uighur yang ditahan otoritas China di kamp-kamp itu mencapai satu juta orang. Kamp-kamp itu dijaga oleh petugas bersenjata, dibentengi kawat berduri dan diawasi ratusan kamera tersembunyi.

Komunitas Uighur bukanlah satu-satunya yang mendapat perilaku represif dari pemerintah RRC. Umat agama maupun komunitas lain juga kerap mendapat perlakuan serupa. Menjelang natal 2018 lalu, sejumlah gereja di Chengdu dan Guangzhou ditutup paksa, bersamaan itu dilakukan penyitaan alkitab serta penahanan terhadap pendeta dan jemaat gereja.

Di provinsi Jiangxi, pemerintah desa setempat memerintahkan pencopotan salib dan gambar Yesus untuk diganti dengan foto Presiden Xi Jinping. Yang paling legendaris tentu saja perlakuan diskriminatif terhadap penganut gerakan spiritual Falun Gong. Sejak dilarang pemerintah pada 1999 lalu, sudah tidak terhitung persekusi terhadap pengikut Falun Gong, dan tidak sedikit yang berujung pada penahanan, penyiksaan, hingga kematian.

Dalam sebuah negara otoriter seperti China, komunitas agama dan kepercayaan menghadapi tantangan berat ketika ajaran dan perilaku penganutnya dikategorikan subversif, sehingga dianggap menjadi potensi ancaman bagi stabilitas negara. Jika berkaca pada perkembangan situasi yang terjadi di China, rasanya kita harus bersyukur bahwa secara umum praktik kebebasan dan toleransi beragama di Indonesia masih jauh lebih baik.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement