Faktanya adalah 5 hari setelah penangkapannya, Irman menyerahkan Laporan Gratifikasi kepada KPK, tetapi laporan ini tidak diproses. Artinya hak Irman untuk mematuhi aturan hukum tentang pelaporan gratifikasi itu diabaikan oleh KPK.
Kasus Irman Gusman terjadi ketika di DPD RI sedang terjadi pergolakan yang menghendaki pemangkasan masa jabatan pimpinan dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.
Bahkan dalam persidangan, hakim juga sempat bertanya kepada Irman apakah kasus ini ada kaitannya dengan gonjang-ganjing di DPD RI. Jaksa KPK juga bertanya apakah Irman berniat mencalonkan diri dalam Pemilihan Pesiden RI. Jadi bisa saja orang awam berasumsi bahwa ada nuansa kepentingan politik yang mewarnai penanganan perkara Irman.
Ada banyak pertanyaan di hati pemerhati hukum tentang kasus Irman Gusman ini. Sebab untuk pemberian Rp100 juta yang tidak pernah diketahuinya sebelumnya, tidak pernah dinikmatinya, bahkan hanya singgah sebentar di rumahnya itu, ia didenda Rp200 juta, dihukum 4 tahun 6 bulan, ditambah lagi dengan hukuman politik yaitu pencabutan hak politiknya selama 3 tahun yang dihitung mulai sejak ia selesai menjalani pidana penjara tersebut. Padahal Pasal 38 KUHP menyatakan bahwa hukuman tambahan seperti itu mestinya diberlakukan sejak pidana pokok diberlakukan.

Terlebih lagi saya menduga, biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk membiayai penegak hukum yang menangani kasus ini jauh lebih besar dari uang Rp100 juta itu yang juga tidak berasal dari anggaran negara melainkan dari perusahaan swasta. Jadi, Irman tidak merugikan negara dan penegak hukum yang menangani kasus ini juga tidak menguntungkan negara.
Aneh juga bahwa sebagai salah seorang yang dikenal cukup gigih memperjuangkan keadilan dan hak asasi manusia, Bambang Widjojanto lalai melihat kasus Irman Gusman dengan menggunakan kacamata penegakan HAM demi menyibak kebenaran dan keadilan.
Hanya satu asumsi yang bisa menjelaskan ketidakpahamannya terhadap kasus Irman Gusman: ia belum cukup mempelajari fakta-fakta yang melatarbelakangi kasus ini sehingga menganggap bahwa kasus Irman dan Romi sama motivasi dan modus operandinya.

Bahkan penggunaan istilah "modus operandi" itu sendiri sudah menunjukkan bahwa ia menganggap Irman sebagai seorang penjahat, padahal pangkal tolak dari kasus Irman bukannya niat jahat melainkan niat baik untuk menolong masyarakat di daerahnya sebagai perwujudan dari tanggung jawabnya selaku senator Sumatera Barat.
Alangkah baiknya seorang penegak hukum tidak mengeluarkan pendapat ataupun penilaian untuk konsumsi publik yang kemudian dapat mengundang sanggahan yang membuktikan ketidakpahamannya terhadap kasus yang dikomentarinya. Sebab tugas penegak hukum adalah menegakkan hukum demi kebenaran dan keadilan yang sesuai dengan cita hukum negara yaitu Pancasila.
Ditinjau dari sudut pandang moralitas, orang yang berhak menilai orang lain bersalah adalah orang yang bebas dari kesalahan. Sebab ukuran yang kita gunakan untuk menilai orang lain akan digunakan orang lain untuk menilai diri kita.
Apalagi, di negara ini setiap putusan pengadilan diawali dengan jargon Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Artinya, keadilan yang ditegakkan di pengadilan adalah keadilan yang sesuai dengan ukuran dan standar Tuhan Yang Maha Esa itu seperti yang diajarkan oleh berbagai agama yang diakui negara.
Tapi satu hal penting yang luput dari perhatian banyak orang, bahkan para penegak hukum, adalah bahwa tidak akan pernah keadilan ditemukan di tempat di mana tidak ditemukan kebenaran, sebab keadilan adalah buah dari kebenaran.
Aturan hukumnya harus benar dulu, intepretasi terhadap teks-teks hukum itu harus benar dulu, para penyelidik, penyidik, pendakwa dan pengadil yang menangani suatu perkara pun harus benar perilaku, dan motivasinya, dan semua saksi dan fakta persidangan harus juga dipertimbangkan dengan benar, kemudian kesimpulannya harus juga benar dan bebas dari kepentingan.
Jika benar terjadi demikian barulah keadilan yang ingin ditegakkan dapat sungguh-sungguh merupakan keadilan yang sesuai dengan deklarasi: Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Oleh Prof Dr Eman Suparman
Mantan Ketua Komisi Yudisial serta guru besar hukum di Universitas Padjadjaran dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia.
(Erha Aprili Ramadhoni)