JAKARTA – Kondisi perpolitikan di Tanah Air dalam beberapa bulan terakhir cukup hangat, seiring agenda Pemilu Serentak 2019, bahkan hingga saat ini tensi politik relatif masih tinggi. Kedua kubu pendukung pasangan calon presiden dan calon wakil presiden nomor urut 02 Joko Widodo-Ma'ruf Amin maupun nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno masih sering terlibat adu argumen juga saling serang di media massa maupun media sosial.
Berbagai isu, mulai klaim kemenangan, dugaan kecurangan, keberpihakan penyelenggara pemilu, sampai adanya konspirasi terkait banyaknya penyelenggara pemilu yang meninggal, dijadikan bahan perdebatan sengit kedua kubu. Padahal, puncak kompetisi harusnya sudah selesai saat pemungutan suara pada Rabu 17 April 2019.
Seyogianya peserta pemilu, termasuk dua kubu pemenangan capres-cawapres, saat ini bahu-membahu mengawal dan mengawasi proses rekapitulasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Tak hanya itu, datangnya bulan Ramadan 1440 hijriah juga harus menjadi momentum dua kubu menghentikan kegaduhan politik.
"Bulan suci Ramadan tahun ini hendaknya dijadikan momentum pemulihan hubungan baik antarkomunitas yang selama ini berseberangan karena beda sentimen politik," ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo, di Jakarta, Minggu 5 Mei 2019.

Bamsoet –sapaan akrabnya–mengatakan pemulihan hubungan baik itu hendaknya diawali dengan kesadaran bersama untuk berhenti menyemburkan ujaran kebencian, berhenti saling tuduh, berhenti saling ancam, dan tidak lagi membuat pernyataan provokatif.
Pada periode bulan suci ini, semua kekuatan politik patut peduli dan menghormati masyarakat yang sedang melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Agar masyarakat fokus dan khusyuk, ruang publik hendaknya bersih dari segala sesuatu yang berpotensi menganggu atau merusak kesakralan Ramadan.
"Dua pekan lebih setelah pemungutan suara Pemilu 2019, sebagian masyarakat merasa tidak nyaman, karena ruang publik masih terasa sangat bising. Kebisingan itu disemburkan oleh dua kubu yang paling berkepentingan dengan hasil perhitungan suara pemilihan presiden oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Isu tentang kecurangan terus dihembuskan kedua kubu," urai Bamsoet.
Ia mengatakan, kebisingan itu memancing perhatian sebagian publik. Ada yang menanggapinya dengan dengan sikap biasa-biasa saja, namun tak sedikit juga yang terpancing emosinya. "Perilaku emosional yang dipertontonkan, kendati hanya dengan pernyataan yang provokatif, tak pelak membuat beberapa kalangan cemas atau khawatir," kata politikus Partai Golkar ini.

Bamsoet menuturkan, di kalangan akar rumput pun sempat tergoda menyoal isu people power yang diwacanakan oleh kalangan tertentu. Perbincangan tentang hal-hal seperti ini bermunculan karena perang pernyataan atau saling tuduh tentang kecurangan pemilu tak pernah reda.
Para tokoh masyarakat sudah menggemakan imbauan agar saling tuduh itu tidak diteruskan, namun imbauan itu seperti dianggap angin lalu saja. "Karena itu, bulan Ramadan patut untuk dijadikan momentum bagi semua kekuatan politik untuk menahan diri, dan membantu masyarakat di berbagai daerah mewujudkan pemulihan hubungan baik antarkomunitas," saran Bamsoet.
Ia mengatakan, dalam proses penghitungan suara memang wajar jika masing-masing kubu kekuatan politik terus bergiat mengumpulkan bukti-bukti kecurangan. "Namun, setiap temuan hendaknya disikapi dengan perilaku yang elegan, tanpa harus memancing atau mengoyak emosi publik," katanya.
Seruan Ketua DPR Bambang Soesatyo sejalan dengan hasil kesepakatan Multaqo Ulama, Habaib, dan Cendekiawan Muslim se-Indonesia di Jakarta pada Jumat 3 Mei 2019. Juru Bicara Multaqo, Muhammad Najih Arromadloni, mengatakan polarisasi di masyarakat Indonesia yang terjadi pasca-Pemilu Serentak 2019 memerlukan upaya tersendiri untuk memperbaikinya.
Di antara poin rekomendasi yang dihasilkan yakni bagaimana seluruh umat Islam dapat menjalankan ibadah Ramadan 1440H dengan semangat meningkatkan ukhuwah Islamiyah, menjalin silaturahmi, menghindari fitnah dan perpecahan, serta saling memaafkan.
Poin kedua yaitu meneguhkan kesetiaan kepada NKRI dan Pancasila yang secara nyata sejalan dengan ajaran islam. "Berikutnya mewujudkan stabilitas keamanan, perdamaian, dan situasi yang kondusif, dengan mengedepankan persamaan sebagai umat manusia yang saling bersaudara satu sama lain, tidak mempertajam perbedaan yang bersifat kontra produktif," kata Najih.

Masyarakat Indonesia juga diminta menghindari dan menangkal aksi-aksi provokasi dan kekerasan dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab selama dan sesudah Ramadan. Kemudian menaati tata peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di seluruh wilayah NKRI, sebagai pengejawantahan hubungan yang konstruktif dan penuh rasa hormat kepada pemerintahan yang sah (ulil amri).
Hal ini seperti diajarkan di dalam tradisi agama Islam. "Masyarakat juga diminta agar tidak terpancing dalam melakukan aksi-aksi inkonstitusional, baik langsung maupun tidak langsung. Tindakan inkonstitusional bertentangan dengan ajaran Islam dan dapat mengarah kepada tindakan 'bughot'," paparnya.
Pertemuan tersebut diinisiasi ulama sepuh KH Maimun Zubair dan Habib Luthfi bin Yahya. Lalu dihadiri sekira 1.500 peserta dari para ulama sepuh, berbagai ormas, para habaib, para cendekiawan Muslim dari seluruh daerah di Indonesia.
Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, Mardani Ali Sera, sepakat jika semua elite dari kedua kubu tidak saling berdebat dan berbalas pernyataan karena hal itu justru membuat masyarakat di bawah semakin pecah.
"BPN susah juga ya komennya. Tapi seruannya begini, sebaiknya BPN tidak mengomentari TKN, dan TKN tidak mengimentari BPN," kata Mardani, di Jakarta, Minggu 5 Mei 2019.
Mardani melihat terbelahnya masyarakat tidak bisa dihindari karena semakin meningkatnya partisipasi masyarakat. Sebab semakin orang berasosiasi, baik itu kepada Jokowi maupun Prabowo, tentu masyarakat semakin terbelah. Hal yang paling penting adalah para elite harus memulai komunikasi untuk menyatukan keterbelahan itu, karena pada dasarnya masyarakat itu sudah cerdas, hanya butuh keteladanan.
"Masyaraktat sudah cerdas, memang kita berbeda, tetapi bagi yang tidak menang harus jadi pihak yang kritis konstruktif mencintai persautan bangsa. Sekarang ini contohnya Apple sama Samsung tempur di pengadilan, tapi Apple pesan LCD dari Samsung. Kita boleh kompetisi, tapi pada saat yang sama tetap kooperatif. Negeri ini perlu keteladanan, jadi jangan takut juga berbeda. Nanti masyarakat akan sadar sendiri. Oke kita bisa berbeda, tapi kan kita bisa mencintai dalam perbedaan," paparnya.

Oleh karena itu, lanjut Mardani, siapa pun yang menang nanti, baik TKN maupun BPN tidak perlu saling sahut-menyahut, karena membuat masyarakat di bawah semakin pecah. Dia sendiri pun sebagai penggagas #2019gantipresiden sudah mengharamkan tagar itu sejak masa kampanye berakhir. Terlebih, saat ini saat sedang proses rekapitulasi dan pencoblosan sudah dilakukan.
“Siapa pun yang terpilih nanti, kalau itu memang sudah melalui proses yang bagus, komplain diselesaikan, itu suaranya rakyat, dan saya harus menghormati. Kalau Pak Prabowo, saya sujud syukur, kalau Pak Jokowi, ya berarti saya harus mengawal sesuai koridor," tandasnya.
(Hantoro)