Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menyikapi Perkembangan Situasi Muslim Uighur di Xinjiang

Opini , Jurnalis-Rabu, 07 Agustus 2019 |16:19 WIB
Menyikapi Perkembangan Situasi Muslim Uighur di Xinjiang
Dave Akbarshah Fikarno (Foto: Ist)
A
A
A

BULAN Juli lalu, para duta besar dari negara-negara yang bertugas untuk Kantor PBB di Jenewa (UNOG) menyatakan sikapnya terhadap kebijakan China di Kawasan Otonomi Uighur Xinjiang (XUAR), yang menyasar minoritas muslim Uighur.

Sikap tersebut dinyatakan dalam surat resmi yang ditujukan kepada Dewan HAM dan Komisaris Tinggi HAM PBB. Hasilnya, terjadi pembelahan dua kubu utama, yaitu pihak yang mendukung dan yang menentang.

Pihak penentang menuduh China telah menahan lebih dari satu juta orang, sebagian besar etnis Uighur, dalam fasilitas yang mereka sebut seperti ‘kamp-kamp internir atau kamp konsentrasi’ di Xinjiang. Sementara kelompok pendukung Beijing memberikan argumen sanggahan, bahwa ‘China telah mengambil serangkaian upaya kontra-terorisme dan deradikalisasi di Xinjiang, termasuk membangun pusat pelatihan dan edukasi vokasi’.

Sungguh ironis, di barisan pendukung kebijakan China yang berjumlah 50 negara itu terdapat negara-negara anggota OKI, seperti Arab Saudi, Pakistan, Mesir, Aljazair, hingga Suriah. Sebaliknya, 22 negara penentang didominasi negara Barat, dengan pengecualian Jepang. Sementara Indonesia sebagai negara dengan pemeluk Islam terbesar, juga India, Bangladesh, dan Malaysia memilih tidak menyatakan sikapnya.

Pendekatan Otoritarian

Muslim Uighur (BBC)

Dalih China memerangi radikalisme di Xinjiang memang sebetulnya memiliki basis argumen. Hanya saja, pendekatan otoritarian dan tangan besi dalam penanganan isu tersebut harus dikritisi. Masyarakat Uighur banyak yang terpapar radikalisme, ekstremisme, dan separatisme, sehingga terlibat dalam aksi-aksi kerusuhan dan teror. Menurut catatan Eksibisi Anti-Terorisme dan Ekstremisme di Urumqi, sejak 1992 hingga 2015 ribuan korban telah jatuh.

Tidak hanya kemiskinan yang membelit warganya, wilayah Xinjiang yang ditinggali muslim Uighur dan etnis minor lain, seperti Kazakh dan Kirgiz, juga dikenal rawan bencana berupa banjir, tanah longsor dan gempa, menyebabkan hidup mereka makin terhimpit.

Kondisi ini sungguh ironis mengingat potensi sumber daya alam Xinjiang yang melimpah, seperti hasil pertanian dan hortikultura berupa gandum, jagung, dan buah-buahan, serta hasil tambang berupa batu bara, minyak bumi, dan gas alam. Wilayah Xinjiang yang berbatasan dengan 8 negara ini juga dilewati jalur pipa gas yang menyuplai kebutuhan gas negara-negara Asia Tengah dan Rusia.

Meski tidak semasif wilayah bagian timur, pemerintah China terus memberikan bantuan pendidikan, membangun infrastruktur, dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat Uighur.

Hanya saja, kebebasan beragama masih menjadi kendala utama. Kebebasan untuk melaksanakan ibadah sangat dibatasi. Masjid-masjid dibangun, namun tidak digunakan rutin 5 kali sehari sebagaimana umat Islam di belahan bumi pada umumnya.

Dalam sebuah kunjungan ke Xinjiang pada pekan lalu, penulis melihat secara langsung salah satu tempat pelatihan kerja bagi kaum Uighur ini. Sebagian orang masuk dengan suka rela, namun sebagian besar lainnya dimasukkan secara paksa oleh pemerintah.

Mereka diajarkan berbagai keterampilan dan kecakapan kerja dan menetap di kamp tersebut selama 4 hingga 6 bulan. Yang menjadikannya berbeda adalah ketatnya pengawasan dan pelaksanaan ‘kurikulum’ khusus berupa program deradikalisasi. Bagian inilah yang dianggap bermasalah dan kerap disorot oleh dunia internasional, karena diduga kuat dilakukan dengan cara-cara yang tidak manusiawi,termasuk penyiksaan fisik dan psikologis.

Penghuni kamp memang tidak dipungut biaya, dari mulai tempat tinggal, makan, hingga pendidikan vokasi. Akan tetapi, mereka tidak diperkenankan melakukan ibadah. Tujuan utamanya adalah brainwashing, yaitu memisahkan akar budaya (bahasa, adat istiadat, dan agama) kaum minoritas untuk digantikan dengan kultur mayoritas bangsa China dan semangat patriotisme yang menuntut loyalitas terhadap negara.

Kontrol Pemerintah

Muslim Uighur (BBC)

Sejumlah investigator independen melaporkan bahwa pendekatan yang dilakukan China terhadap etnis minoritas di Xinjiang semakin mengkhawatirkan. Laporan terbaru yang dirilis oleh BBC mengungkapkan, bahwa Pemerintah China dengan sengaja memisahkan anak-anak Muslim di wilayah Xinjiang dari keluarga, agama, dan bahasa mereka.

Laporan ini menunjukkan bahwa selain dilakukan terhadap orang dewasa, upaya sistematis memisahkan orang Uighur dari akarnya dilakukan sejak usia belia. Pengawasan dan kontrol pemerintah yang ketat di Xinjiang mengakibatkan ruanggerak jurnalis maupun delegasi asing lain menjadi sangat terbatas.

Mereka diikuti 24 jam sehari, diawasi tiap gerak geriknya secara langsung maupun lewat kamera pengawas, sehingga mustahil untuk mendapatkan testimoni penghuni kamp di sana. Namun para eksil ini dapat ditemui di Turki, di mana puluhan orang di Istanbul menceritakan kisah anak-anak mereka yang kini hilang di kampung halaman mereka di Xinjiang.

Diperkirakan 35.000 orang Uighur tinggal di Turki, yang telah menjadi suaka bagi para eksil dari Xinjiang sejak 1960-an. Masyarakat Uighur sebagian besar adalah minoritas berbahasa Turki yang memiliki lebih banyak kesamaan bahasa dan budaya dengan orang Turki dibandingkan dengan mayoritas etnis Han di China.

Laporan lain yang dilakukan oleh peneliti asal Jerman, Dr Adrian Zenz menggambarkan ekspansi sekolah yang belum pernah terjadi sebelumnya di Xinjiang. Kampus-kampus diperbesar, asrama-asrama baru dibangun, dan kapasitasnya meningkat dalam skala besar.

Pada kurun 2017 saja, jumlah anak yang terdaftar di taman kanak-kanak di Xinjiang meningkat lebih dari 500.000 anak. Bocah-bocah Uighur dan minoritas Muslim lainnya, menurut catatan pemerintah, mencakup lebih dari 90% kenaikan itu.

Banyak sekolah dilengkapi dengan sistem pengawasan penuh, dipasangi kamera pengawas, alarm perimeter, dan pagar listrik bertegangan 10.000 Volt. Para siswa diwajibkan untuk menggunakan Bahasa Mandarin untuk berkomunikasi. Jika mereka berbicara bahasa lokal atau bahasa selain Mandarin, ada sistem hukuman poin yang menanti.

Menanti Solidaritas Indonesia

Muslim Uighur (BBC)

Pemerintah Indonesia tampak berhati-hati dalam menyikapi situasi di Xinjiang, sehingga memilih tidak menandatangani surat bernada dukungan, maupun kecaman kepada Dewan HAM dan Komisaris Tinggi HAM PBB atas kebijakan China.

Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia semestinya dapat mengambil peran yang lebih signifikan dan konkrit sebagaimana yang tengah dilakukan oleh Turki.

Menteri Luar Negeri Turki, Mevlut Cavusoglu pada akhir Juli lalu mengumumkan tengah bersiap untuk mengirim ‘tim pengamat’ ke Xinjiang. Turki dikenal sebagai satu-satunya negara Muslim yang secara konsisten bersikap kritis atas situasi di Xinjiang.

Pertalian sejarah dan budayaTurki dengan masyarakat Uighur menjadi salah satu faktor penting pijakan sikap Turki tersebut. Meski faktor ini tidak dimiliki oleh Indonesia, kita dapat menunjukkan sikap solidaritas dengan meyakinkan Beijing untuk menjauhi pendekatan tangan besi terhadap warga Uighur. Membatasi dan memutus akar budaya, tradisi, dan agama sebuah etnis bukanlah solusi yang bijak untuk memberantas radikalisme dan terorisme.

Bermodal pengalaman dalam program deradikalisasi dengan pendekatan yang lebih manusiawi, ditambah Islam moderat yang dianut mayoritas masyarakat Indonesia, kiranya dapat dijadikan role model bagi China dalam melakukan pendekatan kepada masyarakat Uighur.

Oleh: Dave Akbarshah Fikarno, M.E.

Anggota Komisi I DPR RI – Fraksi Partai Golkar

(Khafid Mardiyansyah)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement