 
                BUMI Cenderawasih tengah membara dua pekan terakhir ini. Gelombang aksi massa melanda Manokwari, Sorong, Fakfak, Nduga, Timika, Deiyai, Paniai, hingga Jayapura. Unjuk rasa yang sebagian besar berakhir ricuh itu menentang persekusi dan ujaran rasial terhadap mahasiswa Papua di Surabaya jelang peringatan Proklamasi Kemerdekaan RI, 17 Agustus lalu.
Insiden yang terjadi di asrama mahasiswa Papua di Surabaya, yang melibatkan segelintir orang ini harus dibayar mahal. Selain kerugian materi atas rusaknya sejumlah fasilitas umum di berbagai wilayah di Papua, insiden tersebut juga telah mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Sebagaimana dilansir Kantor Berita Antara, Rabu 28 Agustus, kericuhan di Kabupaten Deiyai telah merenggut tiga korban jiwa yang terdiri dari dua warga sipil dan seorang prajurit TNI AD.
Insiden asrama mahasiwa Papua di Surabaya hanyalah puncak dari gunung es. Tindakan diskriminasi yang menjurus rasisme ini sudah berlangsung sejak lama. Hal ini telah mencederai harkat dan martabat orang Papua yang secara resmi menjadi bagian dari bangsa kita sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 digelar.
Mahasiswa asal Papua, misalnya, di kota-kota besar di Pulau Jawa kerap ditolak ketika mencari tempat indekos hanya karena berasal dari Papua. Penolakan ini terjadi lantaran adanya stigma negatif dan generalisasi atau stereotype masyarakat terhadap perilaku orang Papua. Ini juga menjadi salah satu sebab mengapa mahasiswa Papua cenderung berkumpul dalam sebuah rumah atau asrama khusus.
Angka Kemiskinan

Papua adalah wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah dan kearifan lokal yang luar biasa. Akan tetapi, Papua sampai saat ini masih menjadi salah satu wilayah termiskin di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2019 mencatat Provinsi Papua menjadi wilayah dengan angka kemiskinan tertinggi di Indonesia sebanyak 27,53% atau lebih dari seperempat penduduk. Angka ini jauh di atas angka nasional sebesar 9,47%. Bahkan, sebanyak tiga kabupaten, yakni Deiyai, Intan Jaya, dan Lanny Jaya tingkat kemiskinannya di atas 40% dari populasi.
Ekonomi di Provinsi Papua pada kuartal II 2019 tercatat minus 23,98%, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 5,05%. Provinsi Papua Barat juga mencatat pertumbuhan negatif sebesar 0,5% pada kuartal II 2019, meski lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar -12,83%. Keduanya menjadi yang terendah di antara 34 provinsi di Indonesia.
Data BPS juga mengungkap Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua merupakan yang terendah se-Indonesia. IPM adalah indikator bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan yang dihitung dari agregat tiga aspek, yaitu umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan, serta standar hidup layak.
Angka-angka di atas menjadi ironi dan kontradiktif dengan anggaran pemerintah pusat yang mengalir ke Papua dalam bentuk dana Otonomi Khusus pada 2018 sebesar Rp 12,03 triliun atau naik 4,86% dibandingkan tahun sebelumnya. Jika gelontoran triliunan rupiah kepada 4,3 juta penduduk Papua tak pernah menyelesaikan masalah, evaluasi besar-besaran harus segera dilakukan.