Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Revisi UU Gerogoti Independensi KPK

Fahreza Rizky , Jurnalis-Sabtu, 07 September 2019 |06:45 WIB
Revisi UU Gerogoti Independensi KPK
KPK (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA – Transparency International Indonesia (TII) mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) menolak pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang sedang dilakukan DPR. Jokowi diminta untuk tidak mengirimkan Surat Presiden (Surpres).

“Presiden untuk menolak pembahasan revisi UU KPK dengan tidak mengirimkan Surpres,” kata Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko dalam keterangan persnya kepada Okezone, Sabtu (7/9/2019).

Baca Juga: Revisi UU KPK, Laode Pertanyakan Keseriusan Pemerintah Berantas Korupsi 

KPK

Dadang menegaskan, Presiden tidak boleh tidak tahu terhadap inisiatif revisi UU KPK ini dan sudah sepatutnya memerankan dirinya sebagai penjaga terdepan independensi KPK dengan segera memutuskan untuk tidak mengirimkan surat persetujuan Presiden ke DPR.

“Situasi ini semakin krusial mengingat sejak ditundanya pembahasan revisi UU KPK pada 2016 silam, pemerintah tidak melakukan kajian evaluasi yang komprehensif terhadap RUU KPK dan juga tidak melakukan sosialisasi ke masyarakat,” jelasnya.

Selain itu, TII juga mendesak DPR untuk segera menarik revisi UU KPK yang telah disepakati. Poin-poin perubahan yang diusulkan sangat berpotensi mengurangi kewenangan dan independensi yang dimiliki KPK saat ini.

“Hal ini diperkuat dengan tidak adanya basis kajian mendalam terhadap revisi UU KPK, yang diikuti dengan tidak adanya proses yang transparan, akuntabel dan partisipatif. Kondisi ini justru akan berdampak buruk bagi penegakan hukum korupsi di Indonesia,” ujar Dadang.

TII menilai seluruh substansi RUU yang diajukan DPR ini berpotensi mengancam independensi KPK. Pertama, sumber daya manusia KPK di masa depan tidak lagi mencirikan sebagai sebuah lembaga yang independen. Di dalam naskah RUU KPK, pegawai KPK dikategorikan sebagai aparatur sipil negara (ASN) yang tunduk pada sistem di bawah kementerian yang membidangi kepegawaian pada Pasal 1 Ayat (7).

“Poin revisi ini tentu tidak relevan dengan semangat penguatan lembaga antikorupsi berdasarkan mandat UNCAC maupun prinsip-prinsip Jakarta. Ketergantungan secara institusi akan mempengaruhi KPK dalam menjalankan tugasnya,” katanya.

Baca Juga: Saut Situmorang Tegaskan 9 Poin Draf Revisi UU KPK Tidak Penting

Kedua, penyelidik hanya berasal dari Polri pada Pasal 43 Ayat (1). Kebijakan ini dinilai tidak sejalan dengan penguatan institusi KPK untuk dapat mengangkat penyelidik dan penyidik secara mandiri. Padahal, pegawai yang mandiri merupakan prasyarat penting yang tidak boleh diabaikan guna menciptakan penegakan hukum korupsi yang efektif.

“Keberadaan penyelidik dan penyidik yang berasal dari institusi lain justru dapat menimbulkan loyalitas ganda dan konflik kepentingan dalam institusi KPK,” ujar Dadang.

Ketiga, penyelidik dan penyidik KPK diatur harus melalui mekanisme yang dirancang oleh institusi kepolisian dan/atau kejaksaan Pasal 43A Ayat (1) huruf c dan Pasal 45A Ayat (1) huruf c.

Menurut Dadang, faktanya selama ini KPK secara mandiri mampu menyelenggarakan rekrutmen terhadap penyelidik dan penyidik tanpa harus melalui institusi kepolisian dan kejaksaan.

Bahkan, lanjut dia, KPK telah menjalin kerjasama dengan penegak hukum di negara lain terkait dengan rekrutmen penyelidik dan penyidik. Jika proses dan mekanisme pengangkatan penyelidik serta penyidik diwajibkan melalui skema institusi tersebut, maka kondisi ini berpotensi memunculkan konflik kepentingan jangka panjang.

“Sama halnya ketika banyak pihak mempersepsikan bahwa penyidik KPK haruslah berasal dari institusi penegak hukum lain,” ujar Dadang.

Keempat, keberadaan Dewan Pengawas (Bab VA tentang Dewan Pengawas) dengan segala kewenangan yang diberikan dalam RUU, berpotensi mengancam proses pelaksanaan tugas penegakan hukum, baik penyidikan dan penuntutan perkara.

Padahal, selama ini sistem pengawasan KPK baik di internal (melalui Penasihat KPK, Kedeputian Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, dan Wadah Pegawai KPK) dan eksternal (peran Presiden, DPR RI, BPK RI, dan masyarakat serta institusi lain yang melakukan audit terhadap KPK), dapat dikatakan telah berjalan baik.

“Berdasarkan penelitian TII terkait, kinerja akuntabilitas dan integritas internal KPK mendapatkan skor baik (78%). Sehingga seharusnya semua stakeholders fokus pada penguatan mekanisme penguatan yang sudah ada, bukan menambah satu unit/badan tertentu,” imbuhnya.

Kelima, lembaga antikorupsi yang independen memiliki keleluasaan dalam melaksanakan segala tindakan pro-yustisia, di mana salah satunya diberikan kewenangan melakukan penyadapan tanpa izin yang tidak dimiliki institusi lain. Mekanisme ini merupakan kewenangan khusus yang diberikan untuk menanggulangi kejahatan khusus, di mana hal ini juga termasuk kewenangan untuk tidak mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan dan penuntutan (SP3) terhadap suatu perkara.

“Sehingga ketentuan baru agar KPK harus meminta izin tertulis kepada Dewan Pengawas ketika akan melakukan penyadapan (Pasal 12B), merupakan suatu bentuk intervensi politik yang mengganggu independensi proses penegakan hukum,” ujar Dadang.

(Arief Setyadi )

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement