Kalau Perusahaan Tidak Bisa Bayar, Pailitkan
Sementara itu, dalam laporan tahunan resminya, National Sago Prima mengaku belum menerima salinan putusan Mahkamah Agung (MA). Dengan alasan ini, mereka urung membayar ganti rugi yang dibebankan kepada mereka.
Juru Bicara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jati Witjaksono, mengklaim sejauh ini pemerintah telah menerima Rp400 miliar dari total ganti rugi yang semestinya diterima.
Baca juga: Satgas Karhutla Terpapar Zat Monoksida Tingkat Bahaya karena Hirup Asap
Namun terkait sanksi lain yang disebut sejumlah kalangan lebih tegas, Jati menyebut lembaganya tak berwenang menjatuhkan hukuman itu.
"Proses yang sekarang biar ada efek jera dan pencegahan dari awal. Sebagian lahan yang terbakar ini kan karena mereka menyiapkan kebun, itu bukan kewenangan kami lagi," kata Jati.
"Pemberi izinnya adalah bupati atau gubernur, dan di dalam izinnya harus disebutkan mereka harus bagaimana. Pemberi izinlah yang seharusnya mengawasi," tuturnya.
Pekan lalu, KLHK menyatakan dari puluhan kasus pembakaran lahan oleh perusahaan, baru 17 perkara yang berkekuatan hukum tetap atau inkrah. Total ganti rugi dari kasus-kasus itu Rp3,15 triliun.
Lantas, adakah siasat agar negara tetap dapat ganti rugi atas kerusakan lahan yang dibakar secara sengaja atau akibat kelalaian perusahaan?
Baca juga: Soal Karhutla Riau, Mendagri Ngaku Turut "Disentil" Jokowi
Menurut Kiki Taufik dari Greenpeace, pemerintah mesti melacak kepemilikan perusahaan.
"Kalau perusahaan tidak bisa bayar, pailitkan. Kan ada beneficial owner (pihak yang mendapat royalti atau deviden)," ujar Kiki.
"Bisa cek stakeholder yang berkaitan dengan Merbau Pelalawan Lestari yang tidak mampu bayar. Stakeholder-nya harus ikut bertanggung jawab."
"Selama ini yang dilakukan pemerintah hanya di permukaan. Bagus di awal, tapi pada saat bicara detail, jauh dari harapan," kata Kiki.