Dapat diasumsikan bahwa dari kacamata Irman Gusman, tentu putusan itu dikeluarkan agar ia bebas dari penjara. Dari kacamata Mahkamah Agung, putusan itu dibutuhkan untuk melakukan koreksi terhadap pembuatan putusan di tingkat judex facti, sekaligus sebagai pembelajaran agar pengadilan tidak melakukan kekhilafan yang seperti itu lagi.
Lebih dari itu, Mahkamah Agung telah memberikan pelajaran yang baik, bahwa mengadili perkara korupsi harus dilakukan secara taat asas dan taat aturan termasuk taat pada UU No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dimana Pasal 5, 6, 7, 8 menjamin terpenuhinya hak-hak asasi manusia bagi orang yang tersangkut perkara, serta menegaskan tatacara berhukum yang tidak sewenang-wenang.
Dari sudut pandang hukum pidana materiil, dapat pula dipahami bahwa Mahkamah Agung membatalkan putusan judex facti dalam kasus Irman Gusman karena tidak terpenuhinya kewajiban hakim dalam menjalankan Pasal 27 butir 1 dan butir 2 UU No.14 Tahun 1970 tersebut.
Pasal 27 butir 1 katakan, "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat." Salah satu nilai yang hidup di dalam masyarakat adalah budaya saling memberi oleh-oleh. Budaya ini dilestarikan. Lagipula gratifikasi sejatinya bukanlah pelanggaran hukum, bukan pula kejahatan. Gratifikasi yang tidak dilaporkan dalam tempo 30 hari itulah yang bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum. Nilai semacam ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh hakim judex facti dalam kasus Irman Gusman.
Selanjutnya, di butir 2 Pasal 27 itu dikatakan, "Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, Hakim wajib memperhatikan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh." Dalam kasus Irman Gusman tidak ditemukan niat jahat atau mens rea; yang ada justru niat baik untuk menolong masyarakat Sumatera Barat agar terlepas dari beban harga gula yang tinggi; tetapi niat baik ini sama sekali tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.
Selain itu, dalam Pasal 7 dikatakan, "Tiada seorang juapun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan pensitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal menurut cara-cara yang diatur dengan Undang-undang." Pasal ini jelas-jelas dilanggar oleh penyidik karena mereka menangkap Irman Gusman dengan menunjukkan kepadanya surat penangkapan atas nama orang lain; bahkan surat penangkapan itu pun sudah kadaluwarsa karena orang yang disebutkan namanya dalam surat itu sudah ditangkap dan sudah dihukum.
Pasal 8 UU No.14 Tahun 1970 tersebut menyebutkan, "Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan Pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan Pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum yang tetap." Tetapi dalam praktiknya, institusi-institusi penegakan hukum, termasuk KPK, selalu melanggar pasal ini.
Contoh: Setiap kali ada seorang terduga koruptor ditangkap, KPK selalu mengadakan konperensi pers yang disiarkan ke seluruh dunia. Sebelum orang itu dibuktikan kesalahannya dalam sidang pengadilan yang jujur dan terbuka, masyarakat sudah terlebih dahulu menjatuhkan hukuman sosial yang masa hukumannya lebih panjang dari pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan.