SYDNEY - Penduduk Kepulauan Bougainville di Pasifik Selatan secara mayoritas memilih untuk merdeka dari Papua Nugini (PNG), hal itu diungkapkan Komisi Referendum usai jajak pendapat bersejarah yang akan menguatkan dukungan bagi kaum separatis di saat mereka negosiasikan syarat-syarat untuk membentuk sebuah negara berdaulat.
Hampir 98% dari 181.067 suara mendukung kemerdekaan dalam referendum tidak mengikat yang merupakan bagian dari pakta perdamaian setelah satu dekade perang antara pemberontak Bougainville dan pasukan PNG, yang berakhir pada 1998.
BACA JUGA: Bougainville Akan Gelar Referendum Kemerdekaan dari Papua Nugini pada Oktober
Hanya 3.043 pemilih mendukung opsi otonomi yang lebih besar dalam jajak pendapat tersebut, sementara sejumlah kecil suara lainnya tidak sah.
Referendum akan memberi penduduk di gugusan pulau itu pilihan antara kemerdekaan dan otonomi yang lebih besar.
"Ada air mata, air mata kegembiraan, emosi mentah – orang-orang telah menunggu lama," kata ketua referendum Bertie Ahern di Kota Buka sebagaimana dilansir Reuters, Rabu (11/12/2019). "Pena itu selalu lebih kuat dari pada pedang."
Pemungutan suara komprehensif di Bougainville akan digunakan untuk memperkuat “kartu” para juru runding ketika mereka memulai diskusi tentang syarat-syarat kemerdekaan dengan pemerintah PNG. Kesepakatan apa pun yang dicapai dalam negosiasi itu masih harus disetujui oleh parlemen PNG.
Pajomile Minaka, dari wilayah selatan Bougainville, mengatakan kepada Reuters bahwa dia mengambil kursus hukum untuk memperlengkapi dirinya sendiri untuk membantu membangun kembali tanah airnya.
BACA JUGA: Jutaan Dolar Hilang Usai Papua Nugini Jadi Tuan Rumah KTT APEC
"Itu impian saya, untuk pergi dan membangun kembali," kata pria 36 tahun, yang masih anak-anak selama konflik. “Kami membutuhkan kebijakan terbaik, hukum terbaik, untuk menjadi negara terbaik. Kita terlahir kembali.”
Kepulauan itu masih belum pulih dari konflik terkait perebutan royalti tanah dan polusi di sungai dekat proyek emas dan tembaga Panguna yang sekarang telah ditutup. Pertempuran yang terjadi selama konflik sepanjang satu dekade itu telah menewaskan sedikitnya 20.000 orang, menjadikannya konflik paling mematikan di daerah itu sejak Perang Dunia II.