SAN SALVADOR – Organisasi hak asasi manusia dunia mengatakan, lebih dari 130 warga El Salvador tewas setelah dideportasi dari AS sejak 2013
Organiasi yang bermarkas di AS itu menekankan bahaya yang dihadapi para migran di bawah kebijakan imigrasi yang semakin ketat pada masa pemerintahan Presiden Donald Trump.
Dalam laporan berjudul "Dideportasi ke Bahaya," Human Rights Watch (HRW) mengatakan telah mendokumentasikan 138 kasus warga Salvador yang tewas setelah dideportasi. Namun jumlah itu kemungkinan jauh lebih tinggi karena tak ada angka resmi.
HRW juga menemukan lebih dari 70 kasus warga Salvador yang dideportasi mengalami kekerasan seksual, penyiksaan dan kejahatan lainnya, atau dilenyapkan.
Presiden Trump telah memperketat kebijakan imigrasi AS untuk mempersulit orang Amerika Tengah mencari suaka, serta memaksa ribuan orang menunggu di Meksiko. Isu tersebut dijadikan landasan kampanye bagi pemilihan kembali Trump sebagai presiden.
"Ketika kebijakan suaka dan imigrasi diperketat di Amerika Serikat dan masalah keamanan yang mengerikan berlanjut di El Salvador, AS berulang kali melanggar kewajibannya untuk melindungi warga Salvador yang dipulangkan dari resiko bahaya kejahatan yang serius," tulis HRW melansir dari Reuters Kamis (6/2/2020).
Laporan itu menyalahkan Salvador karena menyasar orang-orang yang dideportasi dan pemerintah Salvador gagal melindungi mereka. HRW menuduh Amerika Serikat menempatkan warga El-Salvador dalam situasi bahaya di mana AS tahu bahwa kemungkinan besar ada bahaya yang mengancam.
More than 100 people killed after being deported back to El Salvador from the United States. https://t.co/nXmqZZd3bQ pic.twitter.com/y3n2vU7DXJ
— Human Rights Watch (@hrw) February 6, 2020
Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengatakan, AS adalah negara hukum jadi tidak secara langsung menanggapi tuduhan dari perwakilan Human Rights Watch.
Dalam laporannya, HRW mengatakan pihaknya mengaitkan dalam banyak kasus alasan warga El Salvador meninggalkan negara mereka dan penyebab utama kematian mereka.
Laporan tersebut mengambil contoh kasus Camila Diaz Cordova, seorang transgender berusia 29 tahun yang mengajukan suaka ke Amerika Serikat pada Agustus 2017, untuk menghindari ancaman kematian dan pemerasan oleh geng multinasional Barrio 18.
Setelah dideportasi pada November 2017, ia kembali menjadi pekerja seks komersial di San Salvador. Di tempat tersebut ia diculik dan dipukuli sampai mati oleh polisi, menurut seorang teman dekat Diaz Cordova dan jaksa agung Salvador.
"Dengan kehilangan tawarannya untuk suaka atau perlindungan di Amerika Serikat, atau di mana pun, risiko yang dia hadapi persis seperti itu, terbunuh," kata teman Diaz Cordova dalam sebuah wawancara.