Kekhawatiran Sutoyo adalah sesuatu yang berdasar kalau melihat perlakuan dan pengalaman tidak menyenangkan juga dialami oleh Yolanda (bukan nama sebenarnya), transpuan dan ODHIV.
Yolanda yang sehari-harinya bekerja dengan menjaja jasa tata rias dan kecantikan ini juga dijauhi dan kerap menjadi buah bibir di antara teman-teman komunitas transpuannya.
Yolanda bingung, dari mana informasi kesehatannya itu bisa tersebar. Menurut Yolanda, status ODHIV seseorang memang kerap menjadi obrolan masyarakat, tidak terlepas dari lingkungan komunitasnya. Meski begitu, Yolanda yang hidup sendiri di Kupang ini berusaha memaklumi dan menerima perlakuan teman-temannya.
“Saya transpuan, sulit diterima masyarakat. Di komunitas itu saya dapat jadi diri sendiri, saya senang. Kalau dijadikan omongan, ya saya pasrah saja, saya tidak punya orang lain,” ucapnya.
Yolanda sendiri tak banyak bercerita tentang respon lain dari teman-teman, masyarakat ataupun keluarga tentang statusnya sebagai ODHIV. Ia hanya berharap, kejadian tak menyenangkan seperti dikucilkan dan terus menerus dibicarakan tidak dialami oleh teman-teman ODHIV lainnya.
“Tak ada seorangpun yang sejak lahir berhadap jadi ODIV kan,” harapnya.
Itu juga yang disampaikan oleh Mateus, Pimpinan Yayasan Flobamora Jaya Peduli, organisasi yang fokus terhadap isu HIV/AIDS di Kupang. Menurutnya, sudah ada upaya dari sejumlah pihak, baik lembaga pemerintah maupun lembaga swasta yang kerap melakukan sosialisasi dan pendidikan terkait penularannya.
“Juga terus mengkampanyekan setop diskriminasi terhadap ODHIV,” sambungnya.
Tidak Sulit Dapatkan Layanan ARV
Terlepas dari diskriminasi lingkungan masyarakat dengan menjadi ODHIV, Sutoyo dan Yolanda tak kesulitan mendapatkan antiretroviral (ARV) yang harus rutin dikonsumsi oleh ODHIV. Rutinitas pemeriksaan medis (fisik) juga tidak sulit mereka dapatkan di kota Kupang.
“Paramedis yang melayani ramah, obat-obatan tersedia selalu,” tambahnya.
Menurut Mateus, kondisi ketersediaan ARV di Nusa Tenggara Timur (NTT) selain Kupang, juga tak ada masalah. Kesulitannya hanyalah akses untuk mendapatkannya.
“Sekalipun gratis, namun tempat layanannya hanya satu rumah sakit, kadang jauh dari lokasi atau domisili ODHIV,” beritahunya.
Berbeda dengan hal itu, ARV di Kota Kupang terlayani di tiga rumah sakit, masing-masing RSU Prof Dr WZ Johannes, Rumah Sakit Tentara (RST) Wira Sakti serta RSU SK Lerik Kupang. Disampaikan Mateus pada dasarnya pelayanan obat-obatan dan pemeriksaan medis rutin untuk ODHIV dilakukan secara gratis.
“Ada juga yang pakai biaya administrasi pendaftaran di loket, besarannya sesuai kebijakan rumah sakit terkait. Tapi kalau obatnya, pemeriksaan medis semuanya gratis,” ucapnya.
Mateus juga menjelaskan bahwa dikarenakan pengadaan ARV dan pemeriksaan medis rutin bagi ODHIV mendapatkan subsidi pemerintah pusat melalui APBN, ini yang menyebabkan tidak adanya kesulitan dalam akses pengobatan bagi ODHIV di Kupang.