JAKARTA - Terdakwa Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra) mengaku menolak action plan terkait pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) yang disusun oleh Andi Irfan Jaya bersama Pinangki Sirna Malasari. Menurut Djoko Tjandra, action plan tersebut tidak masuk akal. Djoko Tjandra mengaku merasa ditipu oleh Andi Irfan Jaya dan Pinangki Sirna Malasari soal action plan tersebut.
Sebab, katanya, dari sepuluh poin yang ada dalam action plan itu, tidak ada yang dapat dimengerti sama sekali.
Demikian diungkapkan Djoko Tjandra saat menjalani pemeriksaan sebagai terdakwa kasus dugaan suap terkait pengurusan fatwa MA di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Kamis (25/2/2021).
"Tidak ada satu dari action plan itu yang bisa saya mengerti, masksudnya, satu, misalkan, meminta kepada saya memberikan security deposit dengan memberikan hak-hak absolut, substitusi, untuk menggadaikan aset saya, memberikan wewenang kepada mereka menentukan harga dan menjual dengan waktu kapan saja," kata Djoko Tjandra.
"Security deposit yang dimintakan kepada saya itu, itu selama hidup saya selama ini sebagai pengusaha lebih dari 55 tahun, tidak pernah saya baca surat kuasa seperti itu," tambahnya.
Djoko Tjandra menyatakan bahwa dirinya juga ragu terkait rencana kerja di poin kedua dalam rencana Kejaksaan Agung (Kejagung) bersurat ke Mahkamah Agung (MA). Menurutnya, rencana itu tidak lazim dan mustahil terjadi. "Saya menganggap itu sesuatu yang tidak lazim, dan tidak mungkin bisa terjadi," tegasnya.
Baca Juga : Irjen Napoleon : Penghapusan Nama Djoko Tjandra Kewenangan Menkumham Yasonna
Djoko merasa ditipu oleh Andi dan Pinangki. Sebab, keduanya sudah minta pembayaran di awal. Padahal, kata Djoko, keduanya belum melakukan pekerjaan. "Belum juga kerja, itu baru proposal, saya sudah ditagih lagi 25 persen konsultan fee, yang mana mereka belum juga kerja," ucapnya.
"(Poin action plan) lima, enam, tujuh, itu semua sifatnya tidak masuk diakal. Sehingga pada poin ke-8 mereka meminta saya membayar USD 10 juta," tambahnya.
Djoko Tjandra mengaku sudah mempelajari action plan itu sebanyak dua kali. Menurutnya, action plan itu adalah modus penipuan yang dibuat Pinangki Sirna Malasari dan Andi Irfan Jaya.
"Saya mengatakan kepada Anita Dewi Kolopaking, ini sifatnya peniupuan, ini bukan proposal. Ini proposal penipuan, saya tidak mau lagi berhubungan dengan orang-orang itu," pungkasnya.
Sekadar informasi, terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra), didakwa pernah menjanjikan uang sebesar 1 juta dolar AS atau sekira Rp14,6 miliar untuk Pinangki Sirna Malasari selaku Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II pada Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung RI.
Uang itu dijanjikan Djoko Tjandra kepada Jaksa Pinangki jika berhasil mengurus fatwa Mahkamah Agung (MA) lewat Kejaksaan Agung (Kejagung). Fatwa MA itu bertujuan agar pidana penjara yang dijatuhkan pada Djoko Tjandra berdasarkan putusan PK Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 tidak bisa dieksekusi.
Namun, Djoko Tjandra baru memberikan setengah uang dari yang dijanjikan, senilai 500.000 dolar AS atau sekira Rp7,3 miliar. Oleh karenanya, Djoko Tjandra didakwa telah menyuap Jaksa Pinangki sebesar Rp7,3 miliar untuk mengurus fatwa MA.
Dalam surat dakwaan, Djoko Tjandra mengenal Pinangki Sirna Malasari melalui seseorang bernama Rahmat. Pinangki, Djoko Tjandra, dan Rahmat sempat bertemu di kantor Djoko Tjandra yang berada di The Exchange 106 Kuala Lumpur Malaysia.
Dalam pertemuan tersebut, Pinangkilah yang mengusulkan terkait rencana pengurusan fatwa Mahkamah Agung (MA) melalui Kejaksaan Agung (Kejagung). Pengurusan fatwa MA lewat Kejagung itu dianggap mujarab agar Djoko Tjandra bisa terbebas dari perkaranya.
Djoko Tjandra sepakat dengan usulan Pinangki terkait rencana fatwa dari MA melalui Kejagung dengan argumen bahwa putusan Peninjauan Kembali (PK) Nomor 12 Tanggal 11 Juni 2009 atas kasus cessie Bank Bali yang menjatuhkan pidana penjara selama dua tahun kepada Joko Soegiarto Tjandra tidak bisa dieksekusi sesuai dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 33/PUU-XIV/2016 yang menyatakan hak untuk mengajukan PK hanya terpidana atau keluarganya.
Akan tetapi, karena terdakwa Djoko Tjandra mengetahui status Pinangki sebagai jaksa, maka ia tidak mau melakukan transaksi secara langsung. Selanjutnya, Pinangki menyanggupi akan menghadirkan pihak swasta yaitu Andi Irfan Jaya untuk bertransaksi dengan Djoko Tjandra dalam pengurusan Fatwa ke MA.
(Angkasa Yudhistira)