Lebih dari 900 juta ton makanan dibuang setiap tahun. Menurut laporan global Indeks Limbah Makanan Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), sebanyak 17% makanan yang tersedia bagi konsumen - di toko, rumah tangga, dan restoran - langsung dibuang ke tempat sampah.
Sementara jutaan ton makanan dibuang, diperkirakan 690 juta orang terkena dampak kelaparan pada tahun 2019. Jumlah itu diperkirakan akan meningkat tajam setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Sekitar 60% dari sampah itu ada di rumah. Penguncian akibat Covid-19 tampaknya berdampak mengejutkan, setidaknya di Inggris dengan mengurangi limbah makanan domestik.
Organisasi mitra PBB dalam laporan ini mengatakan orang-orang telah merencanakan belanja dan makanan mereka dengan lebih hati-hati di masa penguncia ini.
“Laporan itu menyoroti masalah global yang jauh lebih besar dari perkiraan sebelumnya," kata Richard Swannell dari Wrap kepada BBC News.
"923 juta ton makanan yang terbuang setiap tahun akan mengisi 23 juta truk berbobot 40 ton. Bumper-to-bumper, cukup untuk mengelilingi Bumi tujuh kali,” terangnya.
"Makanan yang terbuang bertanggung jawab atas 8-10% emisi gas rumah kaca, jadi jika limbah makanan adalah sebuah negara, negara itu akan menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar ketiga di planet ini,” lanjutnya.
Ini adalah masalah yang sebelumnya dianggap sebagai masalah yang hampir eksklusif untuk negara-negara kaya - dengan konsumen hanya membeli lebih banyak daripada yang bisa mereka makan. Namun penelitian ini menemukan "substansial" limbah makanan ternyata bisa terjadi "di mana-mana".
Ada kesenjangan dalam temuan yang dapat mengungkapkan bagaimana skala masalah bervariasi di negara berpenghasilan rendah dan tinggi. Laporan tersebut, misalnya, tidak dapat membedakan antara limbah "tidak disengaja" dan "sukarela".
"Kami belum melihat lebih dalam masalah ini tetapi di negara-negara berpenghasilan rendah, rantai dingin tidak sepenuhnya terjamin karena kurangnya akses ke energi," kata Martina Otto dari Unep.
(Baca juga: Polisi Tangkap Pria yang Penggal Kepala Anaknya)
Data untuk membedakan antara sisa makanan yang dapat dimakan dan bagian yang tidak dapat dimakan - seperti tulang dan cangkang - hanya tersedia untuk negara-negara berpenghasilan tinggi. Otto mengatakan negara-negara berpenghasilan rendah cenderung membuang-buang makanan yang jauh lebih sedikit.
Namun dia menjelaskan hasil akhirnya adalah bahwa dunia "hanya membuang semua sumber daya yang digunakan untuk membuat makanan itu".