Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Konflik Palestina-Israel: Sheikh Jarrah, Wilayah Sengketa yang Rentan Picu Pertikaian

Agregasi BBC Indonesia , Jurnalis-Kamis, 27 Mei 2021 |08:46 WIB
Konflik Palestina-Israel: Sheikh Jarrah, Wilayah Sengketa yang Rentan Picu Pertikaian
Sheikh Jarrah yang disengketakan (Foto: AFP)
A
A
A

YERUSALEM - Taman milik Samira Dajani dan Adel Budeiri terasa seperti oasis - tempat nan damai yang dipenuhi tanaman bugenvil, lavender, dan pohon-pohon rindang. Tempat asri ini tampak jauh dari persoalan sengketa tanah yang memicu pertikaian.

Faktanya, rumah satu lantai milik pasangan suami-istri ini adalah salah satu dari 14 rumah warga Palestina di kawasan Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur, yang menjadi sengketa.

Mereka terancam diusir dari tempat tinggal untuk memberi ruang baru bagi sejumlah pemukim Yahudi, dalam kasus yang kini ditangani Mahkamah Agung Israel.

Proses penggusuran itu dihentikan sementara menyusul insiden kekerasan di Jerusalem, tepat sebelum pertempuran antara Israel dan kelompok Hamas di Jalur Gaza.

Tapi ancaman ini belum hilang sepenuhnya.

Saat Samira mencabuti bunga-bunga yang sudah layu, Adel menunjukkan kepada saya foto hitam dan putih di era 1950an-1960an, sebelum mereka bertemu dan menikah.

"Ini sangat sulit," kata Adel.

(Baca juga: Jika Pesawat Militer Menyergap Pesawat Penumpang Seperti Terjadi di Belarusia, Perintahnya 'Harus Dipatuhi')

"Kami merasa, masa paling bahagia dalam hidup kami di rumah ini akan segera berakhir. Kami rasa, kami akan menjadi pengungsi untuk kedua kalinya,” lanjutnya.

Keluarga besar mereka diusir dari Jerusalem Barat saat perang kemerdekaan Israel pada 1948. Letak rumah keluarga Dajanis dan Budeiris hanya beberapa kilometer jauhnya dari rumah mereka sekarang, tapi aturan Israel menyatakan mereka tak akan bisa memilikinya lagi.

Pada 1950-an, PBB mendanai proyek Yordania di Sheikh Jarrah untuk membangun perumahan bagi pengungsi Palestina. Tapi sebagian tanah di sana, telah dikuasai dua yayasan Yahudi sebelum negara Israel terbentuk.

Setelah Israel mencaplok Jerusalem Timur dari Yordania dalam Perang Enam Hari pada 1967, dua yayasan tersebut mengambil langkah hukum untuk menguasi tanah tersebut.

Tanah sengketa yang berada dekat dengan makam Shimon HaTzadik—seorang imam besar Yahudi pada masa lalu—telah diklaim oleh kelompok Yahudi yang berpendapat bahwa warga Palestina adalah penghuni liar.

(Baca juga: Pria yang Tembak 8 Rekan Kerja di San Jose Juga Tewas)

Semestinya ditambahkan di sini bahwa hampir segala hal tentang jalan cerita yang berliku-liku ini - baik tanah maupun kepemilikannya - adalah bahan perselisihan yang sengit.

Di luar, jalanan sangat sepi. Ada sejumlah jejak pertikaian antara Israel dan Hamas selama Ramadan.

Barikade polisi di ujung-ujung jalan masih dipasang. Penghuni Yahudi bisa bebas berkeliaran, tapi jika Anda warga Palestina, dan Anda tidak tinggal di sini, Anda tak akan bisa masuk ke dalam kawasan.

Sebuah mural di kawasan itu memperlihatkan peta Palestina sebelum 1948 yang dibungkus dengan motif sorban kepala, bertuliskan: "Selamat datang di lingkungan Sheikh Jarrah yang tegar."

Pada tembok di sisi berlawanan, tertulis 28 nama keluarga yang terancam tergusur.

Di dekatnya, terdapat sebuah rumah yang telah diambil alih penghuni Yahudi lebih dari 10 tahun lal. Rumah itu dipasangi bendera Israel, simbol Bintang Daud yang menyala, serta banyak kamera pengawas.

Pihak berwenang Israel mengatakan masalah Sheikh Jarrah tak lebih dari "sengketa kepemilikan rumah" dan para pemukim Yahudi didukung kuat oleh hukum.

Pada 2003, dua yayasan Yahudi menjual hak propertinya kepada Nahalat Shimon Ltd, satu dari sejumlah organisasi berbasis di Amerika Serikat yang mendukung upaya pemindahan pemukim Yahudi ke wilayah Palestina di Jerusalem.

"Keluarga-keluarga itu akan diusir karena tidak membayar sewa," kata salah satu wakil wali kota Jerusalem, Fleur Hassan-Nahoum.

Dia mengacu pada putusan pengadilan yang kontroversial pada 1987. Putusan itu mengakui asosiasi Yahudi sebagai pemilik properti, sedangkan warga Palestina dikategorikan sebagai penyewa yang dilindungi.

"Jadi, kami mengalami sengketa properti yang dikembangkan menjadi sengketa politik untuk menciptakan provokasi,” jelasnya.

"Saya tidak paham kenapa Jerusalem Timur menjadi Judenrein," katanya. Judenrein merupakan istilah yang diciptakan Nazi untuk menyebut Eropa terlarang bagi orang Yahudi.

Baru-baru ini, kemarahan berkobar di Sheikh Jarrah selama bulan Ramadan.

Pertikaian yang berlangsung selama beberapa dekade telah meledak menjadi kekerasan yang merembet ke Masjid al-Aqsa.

Kelompok Hamas, yang merasa punya peluang untuk menguatkan posisi di antara orang-orang Palestina di luar Jalur Gaza, bergabung dalam aksi tersebut.

Kelompok tersebut kemudian menembakkan roket langsung ke jantung kota.

Saat gencatan senjata diumumkan setelah 11 hari pertikaian, warga Palestina di Jerusalem merayakan apa yang dilihat beberapa orang sebagai kemenangan Hamas.

"Bukan kebetulan, bahwa Kompleks Al-Aqsa dan Sheikh Jarrah adalah pemicu dari konflik yang berakhir dengan kekerasan ini," kata Daniel Seidemann, seorang pengacara Israel yang telah mencatat aktivitas permukiman Yahudi di Jerusalem Timur selama 30 tahun.

"Ada upaya bersama untuk menggusur warga Palestina yang tinggal di sana, dan menggantikan mereka dengan pemukim yang termotivasi dengan apa yang ditulis di kitab suci. Itulah yang terjadi,” ungkapnya.

Dia mengatakan orang Yahudi dan Arab sama-sama mengungsi pada 1948. Tapi hanya itu kesamaan keduanya.

"Ada satu kota, satu perang, dua bangsa, masing-masing kehilangan properti,” terangnya.

"Seseorang bisa merebut properti; yang lainnya tidak. Itu adalah dosa turunan Sheikh Jarrah,” jelasnya.

Seidemann mengatakan penargetan empat wilayah Arab - dua di Sheikh Jarrah dan dua di Silwan, bagian selatan kota - mencerminkan upaya pertama Israel dalam penggusuran warga Palestina secara besar-besaran di Jerusalem setelah perang 1967.

Dan dia mengatakan, prosesnya bergejolak.

"Jerusalem ibaratnya adalah radioaktif, dan penggusuran adalah radioaktif. Kedua hal tersebut kemudian disatukan," katanya.

Kembali ke taman, Adel dan Samira terancam diusir pada 1 Agustus mendatang.

Mereka hanya punya beberapa bulan lagi untuk memenangkan atau kehilangan hak atas rumah yang telah mereka tempati selama 47 tahun.

Adel mengatakan ini bukan pertarungan yang adil.

"Ini sudah jelas, bahwa kami tidak akan bertarung dengan warga pemukim. Kami bertarung dengan pemerintah," katanya.

"Kami tak punya kekuatan untuk bertarung dengan pemerintah Israel,” tegasnya.

Hamas mungkin akan berperang memperebutkan masa depan Jerusalem, tapi bagi 28 keluarga di Sheikh Jarrah, situasi mereka tak pernah berubah sebelum atau sesudah pertikaian.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement