"Yang benar-benar mengagetkan saya saat melihat unggahan mengenai seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya akibat pandemi, sedangkan anak itu positif Covid dan sendirian di rumah. Tiada yang tahu harus berbuat apa-apa—sejak pandemi berlangsung tiada yang bicara soal anak-anak," kata Medha.
Medha terdorong untuk mengadopsi anak itu. Namun, sebagaimana dijelaskan Hari kepadanya, hukum di India tidak memperbolehkan tindakan tersebut.
Menurut undang-undang di India, jika seorang anak menjadi yatim piatu, kejadian itu harus dilaporkan ke lembaga pemerintah, 'Childline'.
Para pejabat Childline kemudian memberitahu pekerja-pekerja sosial yang bertugas memverifikasi informasi itu dan mencatat kebutuhan sang anak. Komite Kesejahteraan Anak lantas memutuskan langkah selanjutnya.
Masalahnya, proses adopsi yang sah secara hukum sulit untuk berlaku adil bagi anak-anak yatim piatu bahkan sebelum pandemi.
Audit pemerintah pada 2018 menemukan bahwa kurang dari seperlima institusi penanganan anak benar-benar berupaya melacak keluarga biologis anak yatim piatu sebelum menempatkan mereka dalalam proses adopsi.
Tapi terlepas dari hal itu, pemerintah merilis iklan layanan masyarakat di sejumlah surat kabar terkemuka yang melarang khalayak menyebarluaskan permintaan adopsi secara daring.
Sejumlah organisasi pelindung hak anak juga mewanti-wanti bahayanya permintaan semacam itu karena membuat anak yatim piatu berada dalam posisi rawan menjadi korban perdagangan manusia dengan kedok adopsi.
Dhananjay Tingal adalah direktur eksekutif Bachpan Bachao Andolan (gerakan Selamatkan Anak) yang mengelola rumah penampungan anak-anak yang membutuhkan.
"Unggahan-unggahan di media sosial termasuk ilegal dan tergolong perdagangan manusia. Tiada yang bisa menempatkan seorang anak dalam proses adopsi dengan cara itu. Tindakan tersebut berpotensi berujung pada penjualan dan pembelian anak," kata Tingal.
Memperdagangkan manusia untuk tenaga kerja, pelecehan seks, pernikahan dini, dan sebagainya adalah tantangan rumit bagi India, sebelum pandemi sekalipun.
Berdasarkan data Biro Catatan Kejahatan Nasional pada 2019, lebih dari 70.000 anak dilaporkan hilang—artinya satu anak hilang setiap delapan menit.
Pemerintah telah mengambil langkah-langkah untuk menghentikan perdagangan manusia, di antaranya meloloskan aturan ketat serta berkoordinasi dengan departemen kesejahteraan sosial, kepolisian, dan LSM.