Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Kerusuhan Pecah Usai Imigran yang Dideportasi Tiba di Bandara, Tas Dibuang Keluar dari Pesawat

Vanessa Nathania , Jurnalis-Kamis, 23 September 2021 |14:36 WIB
Kerusuhan Pecah Usai Imigran yang Dideportasi Tiba di Bandara, Tas Dibuang Keluar dari Pesawat
Orang-orang mencari tas yang dibuang keluar dari pesawat di Bandara Haiti (Foto: Reuters)
A
A
A

HAITIKemarahan dan kerusuhan pecah di bandara utama Haiti setelah para migran dideportasi ke negara itu dari Amerika Serikat (AS) pada Selasa (21/09).

Para migran di bandara di Port-au-Prince bergegas kembali ke pesawat yang mereka tumpangi, sementara yang lain melemparkan sepatu ke arah jet.

Akhir pekan lalu, AS mulai menerbangkan migran dari kota perbatasan Texas stelah terlihat adanya gelombang masuk migran dalam beberapa pekan terakhir.

Sekitar 13.000 calon imigran berkumpul di bawah jembatan yang menghubungkan Del Rio di Texas ke Ciudad Acua di Meksiko.

 (Baca juga: 10.000 Imigran Ilegal Penuhi Perbatasan AS - Meksiko)

Berdasarkan laporan lainnya, ada ribuan imigran – kebanyakan Haiti – yang terdampar di dekat perbatasan antara Kolombia dan Panama.

Menurut laporan dari Reuters, kekacauan terjadi di bandara Toussaint Louverture, Haiti ketika seorang pria berusaha untuk naik kembali ke pesawat. Namun awak pesawat bergegas menutup pintu jet tepat pada waktunya.

 (Baca juga: Parlemen Jerman Akan Halangi Migran dari 4 Negara Ini)

Rekaman video yang diambil di bandara menunjukkan orang-orang berebut barang-barang pribadi mereka setelah tas mereka dibuang keluar dari pesawat.

Ada laporan bahwa beberapa migran tidak diberitahu bahwa mereka akan kembali ke Haiti.

Menurut pernyataan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri (DHS), ada dua insiden terpisah di bandara pada hari Selasa (21/09).

Sebuah sumber mengatakan kepada NBC News bahwa pilot di salah satu penerbangan diserang saat tiba di Haiti dan tiga petugas imigrasi AS juga terluka.

Dalam insiden terpisah di Texas, sekelompok warga Haiti dilaporkan melawan agen Patroli Perbatasan dan berusaha melarikan diri setelah menyadari bahwa mereka dideportasi.

Saat itu, para migran sedang diangkut dengan bus dari kota Brownsville ke Del Rio.

"Ketika para migran mengetahui bahwa mereka akan dikirim kembali ke Haiti, mereka mengambil alih bus dan mereka melarikan diri," terang Brandon Judd, presiden Dewan Patroli Perbatasan Nasional, mengatakan pada konferensi pers pada Selasa (21/9) malam.

Pemindahan migran telah dikritik oleh Partners In Health, sebuah LSM yang telah bekerja di negara tersebut.

"Selama periode yang menantang dan berbahaya bagi Haiti, sangat kejam untuk mengirim pria, wanita, dan anak-anak kembali ke tempat yang banyak dari mereka bahkan tidak menyebut 'rumah' lagi,” jelasnya.

Menurut DHS, Sekitar 4.000 orang telah dideportasi atau dipindahkan ke pusat pemrosesan lainnya.

Dikutip Washington Post, mulai Kamis (23/9), penerbangan dapat ditingkatkan hingga tujuh hari.

Mengutip seorang pejabat AS yang tidak disebutkan namanya, Associated Press juga melaporkan pada Selasa (21/9) bahwa pihak berwenang juga melepaskan migran Haiti ke AS "dalam skala yang sangat, sangat besar".

Pejabat itu menambahkan bahwa banyak dari migran telah diberi pemberitahuan untuk datang ke kantor imigrasi dalam waktu 60 hari. Pejabat itu mengatakan pendekatan ini membutuhkan waktu pemrosesan yang lebih sedikit daripada meminta mereka mendatangi pengadilan imigrasi.

Para migran telah menunggu di kamp darurat dengan suhu 37C (99F).

Pejabat setempat telah berjuang untuk memberi mereka makanan dan sanitasi yang memadai.

Sebagian besar dari mereka yang berada di kamp adalah orang Haiti, tetapi ada juga orang Kuba, Peru, Venezuela, dan Nikaragua yang datang.

Sementara itu pemerintah Kolombia mengatakan bahwa sekitar 19.000 migran - terutama dari Haiti - terdampar di dekat perbatasan dengan Panama. Migran sering menyeberang ke Panama dan melanjutkan perjalanan panjang ke utara menuju Amerika Serikat dengan berjalan kaki.

Namun, seorang pejabat senior Kolombia mengatakan bahwa banyak migran sekarang terdampar di dekat perbatasan sebagai akibat dari kesepakatan antara kedua negara yang membatasi jumlah migran yang melintasi Teluk Urabá ke Panama hanya 250 orang per hari.

Dia menambahkan bahwa banyak migran telah mempertaruhkan hidup mereka dengan mencoba menyeberangi teluk secara ilegal di malam hari dengan kapal di bawah standar.

Banyak orang Haiti meninggalkan negara itu setelah gempa bumi dahsyat pada tahun 2010, dan sejumlah besar dari mereka yang berada di kamp telah tinggal di Brasil atau negara-negara Amerika Selatan lainnya dan melakukan perjalanan ke utara setelah tidak dapat memperoleh pekerjaan atau status hukum.

Dengan dibunuhnya Presiden Haiti pada Juli tahun ini dan adanya gempa bumi mematikan yang terjadi pada Agustus lalu menyebabkan kesulitan lebih lanjut bagi negara miskin ini.

(Susi Susanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement