Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Menolak Pembatalan Pemilu 2024

Opini , Jurnalis-Jum'at, 04 Maret 2022 |07:24 WIB
Menolak Pembatalan Pemilu 2024
Denny Indrayana (foto: dok Okezone)
A
A
A

Bukan Perubahan, Tapi Pengakalan Konstitusi

Berbeda dengan penundaan pemilu yang memang dimungkinkan dengan tujuan penyelamatan negara bangsa dan demi kepentingan rakyat semata, maka pembatalan pemilu karena ingin tetap berkuasa tanpa pemilu adalah pelanggaran konstitusi (constitutional breaches), sehingga sama sekali tidak dapat dibenarkan. Pembatalan pemilu 2024 akan melanggar prinsip negara hukum dan pemilu rutin lima tahunan (Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945). Sedangkan perpanjangan masa jabatan presiden-wakil presiden dan parlemen (DPR, DPD, dan DPRD) dan kepala daerah, akan menabrak pasal-pasal tentang masa jabatan dan cara pengisian jabatan yang diatur melalui pemilu.

Kalaupun ada pemikiran untuk mengubah UUD 1945 agar pembatalan dan perpanjangan masa jabatan itu menjadi seolah-olah konstitusional, hal demikian tetap saja tidak dapat dibenarkan. Secara prosedural perubahan, dapat saja ada pasal yang dibuat untuk melegitimasi usulan pembatalan Pemilu 2024, tetapi secara substansial perubahan konstitusi—yang menjadi alasan pembenar pelanggaran konstitusi untuk membatalkan pemilu, nyata-nyata bertentangan dengan prinsip dasar konstitusionalisme, yaitu pembatasan kekuasaan (limitation of power). Logikanya: jika Presiden BJ Habibie dapat memajukan Pemilu 1999 bahkan tanpa perubahan konstitusi sekalipun, karena hal demikian sejalan dengan mengurangi nafsu-kuasa; maka rencana pembatalan Pemilu 2024 dan memperpanjang masa jabatan sendiri, tidak boleh sama sekali dilakukan, bahkan dengan akal-akalan perubahan UUD 1945 sekalipun, karena sejatinya menunjukkan nafsu menambah kuasa.

Perubahan konstitusi untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi bertentangan dengan moralitas konstitusi (constitutional morality) itu sendiri, yang sebagai hukum dasar bernegara tidak mungkin memberi ruang bagi pelanggaran atas dirinya. Itu sebabnya sumpah jabatan Presiden-Wakil Presiden adalah “memegang teguh UUD dengan selurus-lurusnya”. Padahal membiarkan perubahan UUD 1945 yang melanggar konstitusi, tentu bukan bentuk penghormatan memegang teguh, tetapi adalah tindakan pelecehan konstitusi (contempt of the constitution).

Lebih jauh, perubahan konstitusi untuk membatalkan pemilu, dan berkonsekuensi memperpanjang masa jabatan pengubah konstitusi itu sendiri adalah bentuk amandemen yang sarat benturan kepentingan, dan karenanya harus ditolak. Apalagi perubahan konstitusi, untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi bertentangan dengan negara hukum (rechtsstaat) dan lebih mencerminkan tindakan negara nafsu-kuasa (machtsstaat).

Singkatnya, mengubah UUD 1945 untuk melegitimasi pembatalan Pemilu 2024, dan memperpanjang masa jabatan sendiri, yang nyata-nyata bertentangan dengan konstitusi, bukanlah langkah perubahan konstitusi yang konstitusional, tetapi adalah tipu-muslihat pengakalan konstitusi yang amoral. Itulah sebabnya, usulan pembatalan Pemilu 2024—meskipun dengan Perubahan UUD 1945 sekalipun, harus ditolak dengan tegas dan keras.

Penulis : Denny Indrayana, Guru Besar Hukum Tata Negara, Senior Partner INTEGRITY Law Firm

(Awaludin)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement