HUNGARIA - Perdana Menteri (PM) Hungaria Viktor Orban telah menandatangani dekrit yang melarang pasokan senjata ke Ukraina, menjelaskan keputusan itu sesuai dengan kebutuhan untuk mempertahankan keamanan negaranya sendiri.
Dalam sebuah pernyataan video, yang diterbitkan pada Senin (7/3) di Facebook, Orban mengatakan bahwa keputusan tersebut telah dirilis setelah penilaian situasi di Ukraina. Keputusan ini didasarkan karena militer semakin dengan perbatasan Hungaria, sehingga diputuskan untuk melarang pasokan senjata.
“Perintah tersebut memperjelas bahwa senjata tidak dapat diangkut dari wilayah Hungaria ke wilayah Ukraina,” tersebut.
Pengumuman tersebut menyusul pernyataan Menteri Luar Negeri (Menlu) Hungaria Peter Szijjarto pada Minggu (6/3) yang mengatakan bahwa tujuan terpenting pemerintah adalah mencegah Hongaria memasuki perang tersebut.
Baca juga: Pemerintah Ukraina Bagikan 18 Ribu Senjata Mesin kepada Warganya
"Untuk tujuan ini, kami menolak tekanan dan tuntutan oposisi: Kami tidak akan mengirim tentara atau senjata ke Ukraina, kami juga tidak akan mengizinkan pengiriman senjata mematikan di wilayah kami," tulis Szijarto di Facebook.
Dekrit yang melarang pasokan senjata ke Ukraina memungkinkan pasukan NATO ditempatkan di Hungaria dan mengizinkan pengangkutan pengiriman senjata melalui wilayahnya ke anggota NATO lainnya.
Hungaria, tidak seperti banyak mitra Baratnya, mengutuk Rusia hanya dua hari setelah serangan dimulai. Saat itu, Presiden Hungaria Janos Ader mengatakan bahwa Hungaria berbagi posisi bersama Uni Eropa (UE) dan NATO.
Kemudian, Orban menegaskan bahwa negaranya tidak akan memveto sanksi UE terhadap Moskow.
Saat puluhan ribu pengungsi Ukraina melarikan diri dari konflik ke Hungaria, Orban menjanjikan dukungan untuk mereka, dengan mengatakan bahwa setiap orang yang melarikan diri dari Ukraina akan menemukan teman di negara Hungaria.
Serangan Rusia di Ukraina telah menyatakan tujuan "demiliterisasi" negara, melindungi Donbass dan membela keamanan Rusia sendiri. Barat menanggapi serangan tersebut dengan sanksi keras, menargetkan berbagai sektor ekonomi negara serta pejabat tinggi Rusia.
(Susi Susanti)