ni berarti bahwa anak perempuan yang dipaksa untuk menikah mungkin menghadapi masalah serius, termasuk kekerasan dalam rumah tangga. Mereka akan mendapati bahwa hampir tidak mungkin untuk mendapatkan putusan cerai dari pengadilan Iran.
Perempuan yang dijatuhi hukuman mati bahkan seringkali kehilangan dukungan dari orang tua mereka, yang ingin menjunjung tinggi apa yang mereka anggap sebagai 'kehormatan keluarga'.
"Dalam kondisi ini, beberapa perempuan menjadi korban kekerasan selamanya," terangnya.
Sementara yang lainnya mempertimbangkan untuk membunuh suami mereka.
"Beberapa dari perempuan ini mengaku bahwa mereka melakukan pembunuhan sendiri atau dibantu oleh seseorang. Tetapi hampir semuanya menekankan bahwa seandainya ada cara untuk mendukung mereka melawan kekerasan yang mereka alami, mereka tidak akan melakukan pembunuhan," lanjutnya.
Sebagai contoh bagaimana beberapa perempuan diperlakukan oleh pengadilan, Amini mengutip kasus seorang gadis berusia 16 tahun, Atefeh Sahaleh, yang mengalami pelecehan seksual oleh sejumlah pria.
Bukannya mencari keadilan untuk gadis remaja itu, hakim memutuskan pada 2004 bahwa ia telah melakukan hubungan seks di luar pernikahan.
"Ia dijatuhi hukuman mati karena mengaku berhubungan seks dengan beberapa pria, padahal ia sebenarnya diperkosa," ujarnya.
Amini berkta, menurut KUHP Islam di Iran, jika satu orang mengaku berhubungan seks di luar pernikahan, dia (laki-laki maupun perempuan) akan dihukum dengan 100 cambukan. Dan jika tindakan ini diulang tiga kali, pada keempat kalinya mereka dapat dijatuhi hukuman mati.
"Tetapi dalam kasus Atefeh, bahkan hukum yang tidak manusiawi ini tidak diterapkan, karena saya menemukan dia hanya dua kali diberi 100 cambukan sebelum hakim memutuskan bahwa dia harus dieksekusi," terangnya.