INDIA - Publik umumnya menerima fakta bahwa terdapat sebuah kuil Hindu abad ke-16 yang megah yakni Kuil Vishwanath di situs keagamaan Masjid Gyanvapi.
Dua tempat ibadah ini menuai banyak ketegangan dan polemik karena berada di satu kompleks. Lalu seperti apakah sejarah kuil dan masjid yang sedang diperdebatkan itu?
Menurut Diana Eck, profesor perbandingan agama dan studi India di Universitas Harvard, kuil itu termasuk besar dalam skala ukuran dan pengerjaannya.
Dia mengatakan kuil tersebut terdiri dari tempat suci pusat dan dikelilingi delapan paviliun.
Baca juga: Sengketa Masjid Abad ke-16 dan Kuil Hindu di Satu Kompleks, Petisi Akan Disidangkan
Profesor Eck menjelaskan kurang dari satu abad setelah dibangun, kuil itu diruntuhkan atas perintah kaisar Mughal, Aurangzeb.
"Setengah bagiannya dibongkar, lalu menjadi fondasi Masjid Gyanvapi," tuturnya, dikutip BBC.
Profesor Eck berujar salah satu dinding kuil masih berdiri, ditata seperti ornamen Hindu dalam matriks masjid.
"Jika dilihat dari bagian belakang masjid, pemandangan kontras yang dramatis dari dua tradisi adalah bukti: dinding batu berukir dari kuil tua yang megah walau dalam kondisi hancur dan di atasnya terdapat kubah plesteran putih sederhana dari bangunan masjid hari ini," ujarnya.
Fakta bahwa dinding kuil dimasukkan ke dalam bagian masjid, mungkin merupakan pernyataan atau sikap yang dibungkus agama tentang konsekuensi mengerikan jika menentang otoritas Mughal. Pendapat ini dikatakan Audrey Truschke, penulis Aurangzeb: The Man and the Myth.
Para sejarawan meyakini, salah satu alasan mengapa kuil itu diserang oleh Aurangzeb adalah dugaan bahwa orang-orang yang ada di kuil itu memfasilitasi pelarian Shivaji dari penjara.
Shivaji merupakan seorang raja Hindu yang merupakan musuh utama Mughal.
"Kuil yang dilindungi oleh orang-orang yang tunduk pada otoritas negara tapi kemudian menjadi musuh dan menjadi sasaran para penguasa Mughal," kata Richard Eaton, pengajar sejarah Asia Selatan di Universitas Arizona.
Menurut Eaton, setidaknya terdapat 14 kuil yang dapat dipastikan telah dihancurkan oleh pasukan Mughal selama 49 tahun kepemimpinan Aurangzeb.
Pada rentang abad ke-12 dan ke-18, terjadi 80 kasus perusakan atau penghancuran kuil di India.
"Kita tidak pernah tahu jumlah pasti kuil-kuil yang dirusak dalam sejarah India," terangnya.
Namun para ahli sejarah yakini, jumlah itu jauh lebih kecil dari klaim berlebihan kelompok sayap kanan yang membuat klaim sedikitnya 60.000 kuil dihancurkan di bawah penguasa Muslim India.
Eaton menjelaskan raja-raja Muslim sejak akhir abad ke-12 dan raja-raja Hindu setidaknya sejak abad ke-7 melakukan penjarahan, mendefinisikan kembali, atau menghancurkan kuil-kuil, yang dilindungi oleh musuh atau pemberontak negara.
"Itu adalah cara normal dilakukan untuk melepaskan penguasa yang kalah dari simbol otoritas kedaulatan mereka sebelumnya, sehingga membuat impoten secara politik," tuturnya.
Menurut pakar sejarah, cara ini bukanlah hal yang luar biasa. Sejarah Eropa juga tidak lepas dari konflik agama dan penodaan gereja.
Di Eropa Utara, misalnya, banyak bangunan Katolik dihancurkan atau dirusak selama pemberontakan kaum Protestan di abad ke-18. Contoh-contoh tersebut termasuk penodaan Katedral Utrecht pada tahun 1566 dan pembongkaran Katedral St Andrews yang hampir selesai di Skotlandia pada tahun 1559.
Namun seperti yang dikatakan oleh Pratap Bhanu Mehta, seorang pengamat terkemuka, "sekularisme (pemisahan agama dan kekuasaan) akan semakin dalam jika membiarkan sejarah menjadi sekedar sejarah, bukan menjadikan sejarah sebagai fondasi etika sekuler".
Menurutnya, perselisihan yang sedang berlangsung di Varanasi hanya dapat berakhir dengan membuka pintu depan komunal lain.
Walau begitu, kekhawatiran soal dampak perselisihan ini masih terlalu dini, kata Swapan Dasgupta, seorang kolumnis berhaluan kanan.
"Belum ada tuntutan untuk penghancuran masjid dan pemulihan keadaan yang ada sebelumnya. Hukum juga tidak mengizinkan ruang lingkup dari tempat suci untuk dimodifikasi," ungkapnya.
"Sejauh ini, konflik di Varanasi bertujuan untuk menjamin ruang yang lebih luas bagi para umat saat beribadah," ujarnya.
Pandangan tersebut juga terlalu menyederhanakan.
Tahun lalu Mahkamah Agung menerima gugatan terhadap undang-undang tentang tempat ibadah, yang dengan sendirinya dapat membuka potensi konflik agama.
"Yang terjadi di Varanasi hanyalah awal dari serangkaian tuntutan tempat ibadah lain yang diklaim kelompok Hindu," kata Madan Lokur, pensiunan hakim Mahkamah Agung India.
Berbagai gugatan seperti ini dapat dengan mudah menyebabkan perselisihan tidak berkesudahan antara komunitas Hindu dan Islam di India.
(Susi Susanti)