JAYAPURA - Kendati tengah diguncang kasus gratifikasi yang disangkakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Gubernur Papua, Lukas Enembe tetap dicintai rakyatnya. Terbukti, Dewan Adat Papya (DAP) mengukuhkan Lukas Enembe sebagai kepala suku besar Bangsa Papua di kediaman pribadinya, Koya Tengah, Distrik Muara Tami, Kota Jayapura.
Ketua Dewan Adat Papua, Dominikus Sorabut mengatakan, hal ini merupakan proses organisatoris DAP yang telah menggelar pleno resmi ke sebelas di Jayapura, serta pandangan seluruh pimpinan tujuh wilayah adat di Tanah Papua.
Menurut Sorabut, dalam pembahasan dewan adat tidak melihat Lukas Enembe sebagai Gubernur Papua, tetapi melihat sepak terjangnya ketika mengabdi sejak di pemerintahan terendah hingga menjadi Gubernur.
"Kami tidak disogok oleh siapa-siapa, tetapi terpanggil nurani untuk ibu pertiwi, sehingga kami datang dan memutuskan bahwa layak seorang Lukas Enembe dijadikan sebagai pemimpin besar tanah dan bangsa Papua atau kepala suku besar tanah dan bangsa Papua," kata Dominikus Sorabut, Minggu (9/10/2022).
Pengukuhan tersebut dilakukan dalam mekanisme pleno Dewan Adat Papua, yang telah diputuskan dan mengikat, secara alam dan Tuhan juga merestui itu. "Kami tidak datang sendirian dimana proses itu kami sudah lakukan secara adat hingga memberikan mahkota sebagai pemimpin besar Papua," katanya.
Menurut Sorabut, sepak terjang Lukas Enembe ketika mengabdi mulai dari pemerintah terendah sejak masih bertugas di Merauke, wakil Bupati Puncak, Bupati Puncak, lalu Gubernur cukup untuk dia [Lukas Enembe] mengabdi kepada bangsa dan negara.
Pengabdian itu tidak bisa diragukan, beliau betul-betul membuktikan bagaimana mencerdaskan anak bangsa, merekatkan pembangunan ke masyarakat adat, membuka isolasi daerah-daerah terjauh, mendekatkan pembangunan.
Terlebih adalah sisi pendidikan, katanya, Lukas Enembe selama dalam sejarah bisa keluarkan anak-anak Papua yang punya potensi berstudi keluar negeri.
Namun, apa yang dibuat oleh Gubernur selama ini tidak dilihat sebagai tindakan positif, tetapi semuanya dianggap dalam konteks negatif, dan narasinya itu mendiskriminasi.
"Bicara soal korupsi itu normatif, tetapi dalam hidup ini ada hukum dimana ada juga indikator-indikator bagaimana seseorang itu betul dijadikan tersangka. Tetapi kemudian soal gratifikasi atau menerima mahar dari uang Rp1 miliar kemudian persoalan ini menjadi bola salju, lalu mendalilkan uang Rp560 miliar hingga Rp1.000 Triliun dan lain-lain," katanya.
Baca Juga: BuddyKu Festival, Generasi Muda Wajib Hadir
Follow Berita Okezone di Google News