PARIS – Pengadilan Prancis menyatakan bersalah delapan terdakwa serangan truk pada Juli 2016 di Kota Nice, Prancis Selatan yang menewaskan 86 orang. Tiga terdakwa dinyatakan bersalah terkait dengan teroris, sementara lima lainnya dinyatakan bersalah memasok senjata.
Penyerang, Mohamed Lahouaiej-Bouhlel, ditembak mati setelah menabrakkan truk ke kerumunan pada Hari Bastille enam tahun lalu.
BACA JUGA: Korban Tewas Serangan Truk Teror di Prancis Capai 84 Orang
Warga Tunisia berusia 31 tahun itu menerobos kerumunan sekira 30.000 orang yang menikmati pertunjukan kembang api untuk hari nasional Prancis pada 14 Juli. Truk itu melaju sepanjang boulevard pinggir laut kota pesisir Promenade des Anglais sejauh lebih dari 2 km, dengan korban tewas termasuk 15 anak-anak.
Ratusan orang terluka dalam pembantaian itu - salah satu serangan terburuk di Eropa dalam beberapa tahun terakhir.
Diwartakan BBC, putusan diumumkan pada Selasa, (13/12/2022) setelah persidangan panjang di ruang sidang khusus di ibukota Prancis.
BACA JUGA: Polisi Prancis Bekuk Delapan Tersangka Truk Teror Nice
Mohamed Ghraieb dan Chokri Chafroud, keduanya warga negara Tunisia yang berteman dengan si pembunuh, dijatuhi hukuman terberat 18 tahun penjara. Kedua pria itu membantah melakukan kesalahan.
Ramzi Arefa, terdakwa lainnya, dijatuhi hukuman 12 tahun penjara karena memberikan senjata kepada penyerang.
Ketiga pria itu telah menerima SMS dan pesan Facebook dari si pembunuh menjelang serangan itu. Tidak ada yang dituduh menjadi bagian dari konspirasi, tetapi pengadilan memutuskan bahwa mereka mengetahui secara umum tentang kecenderungan pelaku penyerangan melakukan aksi terorisme.
Lima terdakwa lainnya, empat warga negara Albania dan seorang Tunisia, dijatuhi hukuman penjara dari dua hingga delapan tahun atas tuduhan penyelundupan senjata atau konspirasi kriminal.
Kelompok militan Negara Islam (IS) mengaku bertanggung jawab atas serangan itu, tetapi penyelidik Prancis tidak pernah menemukan bukti bahwa Lahouaiej-Bouhlel memiliki hubungan dengan mereka.
Sidang, yang berlangsung selama dua bulan di Palais de Justice yang bersejarah di Paris, merupakan kesempatan bagi para penyintas dan keluarga korban untuk bersaksi tentang ingatan mereka tentang malam yang meninggalkan luka mendalam di kota Nice itu.
(Rahman Asmardika)