Besaran uang yang disawerkan dipengaruhi status sosial. Semakin tinggi status sosial si laki-laki maka uang yang disawerkan sembari menggerayang dada penari taledek, akan semakin besar.
Begitu juga sebaliknya dengan si penari taledek. Semakin rupawan paras dan tubuhnya, uang saweran yang diterima akan semakin banyak. Kolonial Belanda sangat memperhatikan hal ini.
Agar tidak berlebihan menghamburkan uang untuk penari taledek yang bahkan sampai berakibat bangkrutnya ekonomi seorang priyayi, sampai-sampai muncul kritikan di masyarakat terkait besaran uang saweran.
Seorang bupati dihimbau menyawer hanya 5-10 gulden. Kemudian jaksa hanya 2,5 gulden dan priyayi rendahan bergaji 15 gulden diharap menyawer taledek tidak lebih dari 1 gulden.
Kritik itu muncul dalam laporan surat kabar Darmo Kanda pada 12 Juni dan 25 Agustus 1905.