Pesannya jelas yakni tentara itu kuat, bersatu, dan mampu memaksakan kehendaknya pada negara.
Dalam banyak hal ini terasa seperti kembali ke tahun-tahun panjang represi yang mencekik di bawah rezim otoriter berturut-turut antara tahun 1962 dan 2010 di Myanmar, dengan militer berpegang pada tema-tema yang akrab sejak saat itu, menghancurkan musuh internal dan membela "tiga tujuan nasional", yang menempatkan persatuan di atas segalanya.
Dari keamanan benteng pertahanannya, militer tampaknya percaya bahwa kekerasan, yang digunakan pada penduduk yang semakin kelelahan, pada akhirnya akan memperkuat rezim mereka.
Dan dengan kondisi ekonomi yang buruk sejak kudeta, banyak orang Burma ingin kembali ke keadaan normal, dalam hampir semua syarat.
(Susi Susanti)