YANGON - Militer Myanmar membela serangan mematikan pada sebuah pertemuan desa yang diselenggarakan oleh kelompok pemberontak pekan ini. Militer mengatakan bahwa jika ada warga sipil yang terbunuh dalam serangan itu adalah dikarenakan mereka dipaksa untuk membantu "teroris".
Hingga 100 orang, termasuk anak-anak, tewas dalam serangan udara Selasa di daerah Sagaing di barat laut Myanmar, menurut laporan media, menjadikannya yang paling mematikan dalam serangkaian serangan udara militer baru-baru ini.
Myanmar berada dalam kekacauan sejak kudeta pada 2021 yang mengakhiri satu dekade reformasi tentatif yang mencakup pemerintahan sipil yang dipimpin oleh pemenang Hadiah Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.
Beberapa penentang pemerintahan militer telah mengangkat senjata, di beberapa tempat bergabung dengan pemberontak etnis minoritas, dan militer telah menanggapi dengan serangan udara dan senjata berat, termasuk di wilayah sipil.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengutuk serangan udara di Sagaing dan meminta mereka yang bertanggung jawab untuk dimintai pertanggungjawaban. Juru bocaranya menambahkan Guterres "menegaskan kembali seruannya kepada militer untuk mengakhiri kampanye kekerasan terhadap penduduk Myanmar di seluruh negeri".
Juru Bicara Junta Militer Zaw Min Tun mengatakan kepada saluran siaran militer Myawaddy pada Selasa, (11/4/2023) malam bahwa serangan terhadap upacara yang diadakan oleh Pemerintah Persatuan Nasional (NUG), pemerintahan bayangan, ditujukan pada Pasukan Pertahanan Rakyat (PDF) guna memulihkan perdamaian dan stabilitas di wilayah tersebut.
"Saat upacara pembukaan itu, kami melakukan penyerangan. Anggota PDF tewas. Mereka yang menentang pemerintah negara, rakyat negara," kata Zaw Min Tun sebagaimana dilansir Reuters.
"Menurut informasi lapangan kami, kami mengenai tempat penyimpanan senjata mereka dan itu meledak dan orang-orang tewas karenanya," katanya.
Mengacu pada tuduhan korban sipil, dia mengatakan "beberapa orang yang terpaksa mendukung mereka mungkin juga meninggal".
Zaw Min Tun mengatakan foto-foto menunjukkan beberapa dari mereka yang tewas berseragam dan beberapa berpakaian sipil, menuduh PDF secara keliru mengklaim kematian warga sipil ketika pasukan mereka terbunuh.
Dia juga menuduh anggota PDF melakukan "kejahatan perang" dan membunuh "biarawan, guru, dan penduduk tak bersalah" di daerah yang tidak mendukung oposisi.
Kepala Hak Asasi Manusia PBB Volker Turk mengutuk serangan itu dalam sebuah pesan sebelum komentar junta dilaporkan secara luas, dengan mengatakan "tampaknya anak-anak sekolah yang sedang menari, serta warga sipil lainnya ... termasuk di antara para korban".
Mengutip penduduk di wilayah tersebut, BBC Burma, Radio Free Asia (RFA) Burma, dan portal berita Irrawaddy melaporkan antara 80 dan 100 orang, termasuk warga sipil, tewas dalam serangan militer tersebut.
Menurut anggota PDF, sekira 100 jenazah, termasuk 16 anak, telah dikremasi.
"Jumlah pasti korban tewas masih belum jelas karena ... bagian tubuh berserakan di mana-mana," kata anggota PDF yang menolak disebutkan namanya itu.
Pejuang oposisi Myanmar yang bersenjata ringan tidak memiliki pertahanan yang efektif melawan angkatan udara militer.
Pada Oktober, sebuah jet militer menyerang sebuah konser, menewaskan setidaknya 50 warga sipil, penyanyi, dan anggota pasukan pemberontak etnis minoritas di Negara Bagian Kachin di utara.
Kyaw Zaw, juru bicara NUG, mengatakan diyakini hampir 100 orang tewas dalam serangan Selasa ketika jet angkatan udara menjatuhkan bom ke penduduk desa dan helikopter tempur kemudian menindaklanjuti, menyebutnya sebagai "serangan militer yang tidak masuk akal, biadab, dan brutal". .
Militer membantah tuduhan telah melakukan kekejaman terhadap warga sipil dan mengatakan sedang memerangi "teroris" yang bertekad untuk mengacaukan negara.
Militer telah memerintah Myanmar selama hampir 60 tahun terakhir dengan mengatakan bahwa itu adalah satu-satunya institusi yang mampu menyatukan negara yang beragam itu.
(Rahman Asmardika)