APES, itu yang sedang dialami Gubernur Lampung saat ini. Urusan jalan rusak, sebetulnya, bukan hanya di Lampung. Banyak terjadi di daerah lain alias tidak beda. Bedanya, Gubernur Lampung terlalu reaktif terhadap kritik dan lupa dunia sudah beda dengan saat ia kecil. Dunia begitu terbuka sementara pola pikir masih Orba akibatnya menjadi bulan-bulanan nitizen. Bukan hanya Nitizen di Lampung tapi se-Indonesia, bahkan dunia. Viral urusan jalan rusak belum tuntas topik berlanjut pajak kendaraannya telat bayar. Apes lagi.
Pepatah bukan lagi nasi sudah menjadi bubur. Sebab kalau yang terjadi nasi jadi bubur itu gampang, tinggal buang, selesai urusan. Ini "upo" (istilah bahasas Jawa atau butir nasi) yang lengket, dulu sering dimanfaatkan untuk lem kalau tidak ada perekat, tersebar berantakan kemana-mana. Semakin dikibas dari tangan upo itu semakin menyebar dan menempel ke tempat lain. Yang tertempeli upo bereaksi. Ambyar!
Saya tak hendak membicarakan Gubernur Lampung, Arinal Djuanedi yang sedang jadi bulan-bulanan netizen. Tapi saya bercerita tentang Seputih Banyak dimana masa kecil saya sempat di sana. Seputih Banyak yang "terisolir" karena jalan menuju sana rusak parah tiba-tiba banyak disebut media nasional karena Presiden Jokowi melintas sekitar wilayah ini. Kunjungan Jokowi melintas Seputih Banyak ini terkait jalan rusak di Lampung yang menjadi viral sejagad dan, itu tadi, gubernurnya menjadi bulan-bulanan banyak masyarakat Indonesia. Menggunakan kendaraan sedan RI-1 Jokowi seakan ingin menunjukan bahwa jalan memang tidak bisa dilintasi kendaraan mobil. Jalanan di Lampung sedang tidak baik-baik saja. Kalau ingin menunjukkan jalan masih bisa dilintasi pastinya Pakde Joko tidak pakai sedan tapi traktor, minimal mobil jenis jeep.
Tuing! Begitu radar perasaan saya bergetar ketika staf khusus presiden, Doktor Sukardi Rinakit kontak saya bahwa, Presiden Jokowi hendak ke Seputih Raman. Tidak menyebut Seputih Banyak tapi sudah cukup terbayangkan di benak saya, itu wilayah sebelah Seputih Banyak. Presiden ke kampung yang jalannya penuh lubang seperti foto planet Mars dari jauh? Cak Kardi, begitu saya memanggilnya, tau masa kecil saya di Seputih Banyak dari kami ngobrol. Bahkan ia pernah menyinggung nama saya dalam kolomnya di koran Kompas beberapa tahun lampau ketika masih bisa menulis. Sekarang, karena statusnya sebagai Staf Khusus Presiden maka harus "puasa" menulis.
Saya lahir di Jakarta tahun 1959. Usia tiga tahun Bapak saya yang berdinas di Kantor Transmigrasi Pusat Jakarta dipindah ke Seputih Banyak. Jabatannya Kepala Seksi Kantor Transmigrasi Seputih Banyak menangani transmigran, warga dari Pulau Bali yang dipindah secara "bedol desa". Transmigran Bali tersebut adalah korban dari dasyatnya letusan Gunung Agung pada Maret 1963 yang kemudian ditempatkan di Seputih Banyak, Seputih Raman dan beberapa tempat lainnya seputaran Kota Gajah, dulu wilayah Lampung Tengah. Transmigrasi bedol desa dari Bali tersebut ditandain dengan banyaknya Pure di wilayah Seputih Raman dan Seputih Banyak atau sekitarnya. Sampai sekarang masih ada.
Kenangan Seputih Banyak
Tentu Seputih Banyak sekarang berbeda dengan masa kecil saya ketika itu tahun 1963-an. Namun, meskipun zaman sudah maju, untuk menuju Seputih Banyak dari Kota Metro yang jaraknya sekitar 40 kilometer diperlukan perjuangan ekstra hati-hati. Tahun 2020, misalnya, ketika saya napak tilas ke Seputih Banyak mengenang masa kecil butuh waktu satu jam lebih karena kendaraan harus zig zag menghindari lubang bahkan kadang masuk dalam lubang tidak bisa menghindar. Tidak hati-hati beresiko pada kendaraan terutama jenis sedan dengan dek rendah. Pendeknya, Seputih Banyak terkesan masih merupakan wilayah sulit terjangkau karena buruknya jalan dari Kota Metro. Harus hati-hati mengemudi jika tidak ingin kendaraan terperosok karena sepanjang perjalanan yang nampak adalah kubangan di tengah jalan. Kota Metro sekarang kota administrasi dulu merupakan ibukota dari Lampung Tengah di mana Seputih Banyak adalah kecamatannya
Sampai Seputih Banyak saya dibuat bingung karena berbeda dengan ingatan saya kecil. Tentu demikian karena sudah sekitar 58 tahun saya tinggalkan. Dengan sabar saya bertanya sana sini seraya mencocokan dengan pola dalam ingatan saya. Ada beberapa teman kecil masih ada tetapi sudah renta. Satu rumah bekas milik Dinas Kantor Transmigrasi masih tersisa dengan kondisi mengenaskan, tua, lapuk dan reot. Pada masa itu semua bentuk rumah dinas sama, yaitu bagunan depan teras dan bagian belakang ada bangunan memanjang dengan beberapa kamar. Saya tertegun di depan bangunan reot membangkitkan rasa haru kenangan masa kecil yang kemudian kacau balau akibat pecah peristiwa gerakan tahun 1965. Kami semua pergi dari Seputih Banyak pindah ke Metro.

Seputih Banyak ketika saya datang tahun 1963 masih merupakan bekas hutan yang baru dibabat. Kami menempati rumah dinas dengan halaman belakang depan samping bukan main luasnya. Tanah tinggal patok, kira-kira begitu istilahnya. Tapi jangan membayangkan halaman luas itu berupa rerumputan hijau seperti rumah masa kini, apalahi seperti di Amerika. Sejauh mata memandang, kalau saya buka jendela melihat ke belakang yang ada tonggak kayu pohon besar bekas dibakar. Dugaan saya, itu waktu hutan dibabat dengan cara dibakar arena dinilai cepat dan efektif. Selain itu ilalang mengelilingi kami. Tidak heran ular berukuran besar keliatan kemana-mana bahkan masuk rumah.
Kasus paling tidak saya lupakan adalah ketika tiba-tiba ular sebesar paha orang dewasa mendekati saya. Ibu saya yang melihat ada ular besar di belakang saya, di halaman rumah, berlari menarik saya. Ssaya tidak tahu sedang dalam bahaya sehingga meronta. Ibu memaksa seret saya. Ular terus mendekat. Ibu teriak minta tolong, kebetulan ada orang lain mendengar dan ketika dilempar balok ular tidka pergi tetapi tegak menyambut balok. Kemudian lari ke semak-semak ilalang, hilang. Kenangan yang sampai sekarang sangat membekas dalam hidup saya di Seputih Banyak. Saya yang dulu kecil tinggal di daerah Minangkabau, Jakarta, persisnya belakang Pasar Rumput, sering diajak Bapak naik becak lihat Hotel Indonesia tiba-tiba harus berada di alas Seputih Banyak.
Selain ular dan binatang lain yang lumayan perlu diwaspadai di Seputih Banyak ketika itu adalah garong alias rampok. Peristiwa penggarongan sering saya dengar dari pembicaraan orang dewasa yang sering berkumpul di rumah. Sebab ayah merupakan pejabat tinggi (walaupun cuma kepala seksi) di Seputih Banyak sehingga rumah tempat banyak orang berkumpul. Secara kebetulan hanya kami yang memiliki radio transistor merk Sanyo, dibawa langsung dari Jakarta saat pindahan, sehingga banyak tetangga numpang mendengarkan siaran Radio Republik Indonesia (RRI). Saya sering mendengar pembicaraan para tamu dan sebagian masih saya ingat.
Yang sering menjadi pembicaraan orang dewasa saya dengar dan masih saya ingat adalah Arjo Gembong dan Suroso. Dua nama ini, kalau sekarang, mirip preman yang saling menguasai wilayah. Suatu pagi subuh pintu rumah diketuk seseorang, bapak bangun, saya ikut bangun melihat bapak menemui pengetuk pintu. Kemudian bapak masuk lagi berganti baju hendak keluar rumah. Ibu yang was-was melihat bapak serius kemudian bertanya, ada apa? Suroso dibunuh, jawab bapak, kemudian pergi bersama tamu tadi. Siapa pembunuhnya saya tidak mendengar lagi. Tapi Arjo Gembong tetap ada sampai pecah peristiwa PKI tahun 1965 dan kami pindah ke Kota Metro dengan kehidupan normal. Saya kemudian sekolah sampai tamat dari SMA Yos Sudarso dan bapak sebelum pensiun menjabat Kepala Kantor Departemen Transmigrasi Lampung Tengah di Metro.
Meskipun Presiden Jokowi hanya melintas di pinggiran Seputih Banyak tetapi saya dan pastinya banyak orang di sana berharap ada perubahan terhadap kondisi sarana yang selama ini buruk. Lampung dilintasi jalan tol trans Sumatera seharusnya menjadi sarana masuk para wisatawan dari luar Lampung, baik kota-kora di Jawa maupun seputar Pulau Sumatera karena kemudahan akses transportasi. Namun jika jalan pendukuang sekitar trans Sumatera buruk tentu membuat enggan para pelancong masuk Lampung, padahal Seputih Raman, Seputih Banyak dan Kota Metro merupakan tujuan wisata yang menarik dan murah.

Karir Wartawan
Lulus SMA tahun 1980 saya berangkat ke Jakarta masuk Sekolah Tinggi Publistik Jakarta dengan cita-cita menjadi wartawan. Dunia membaca memang menjadi budaya di dalam keluarga kami sehingga menumbuhkan minat ingin tau dan menulis. Bapak pelahap banyak buku bacaan sehingga saya juga tertular. Karena bacaan anak sudah habis, seperti Majalah Kuncung ada juga buku dari sekolah tetapi tidak boleh dibawa pulang sehingga tidak ada lagi bacaan anak maka buku-buku bapak seperti Dibawah Bendera Revolusi, Penetapan Bahan Bahan Indoktrinasi (membahas pidato pertama tentang Pancasila), tavip pidato Bung Karno dan lainnya "terpaksa" saya baca.
Sebagai wartawan saya merangkak berkarir dari bawah. Dimulai tahun 1981 sebagai penulis lepas dengan cara menjual karya jurnalistik ke media nasional seperti Kompas, Sinar Harapan, Berita Buana, Waspada Medan dan sebagainya sampai kemudian bekerja di Koran Lampung Pos, Majalah Mobil Motor, Koran Jayakarta, Majalah Multivision dan sebagainya, terakhir menjadi Pemimpin Redaksi sekaligus Stasiun Manajer Radio Trijaya FM tahun 2009-2014. Saya lama di media cetak hampir 20 tahun dan karir di media radio 12 tahun tahun 2002 diawali sebagai Wakil Pemimpin Redaksi Radio Trijaya.
Bertemu Jokowi
Ketika Jokowi menjabat Walikota Solo menjadi berita di banyak media lokal dan nasional karena dinilai cara kerjanya yang menarik. Jokowi dianggap sukses memimpin Solo sehingga ketika maju untuk periode kedua ia memenangkan Pilkada secara mayoritas. Ketika berita tentang mobil Esemka yang didukung Jokowi menjadi berita maka Radio Trijaya mengundangnya untuk datang ke studio di Jakarta.
Hari Sabtu siang Jokowi datang mengendarai Mobil Esemka bersama beberapa teknisi dan stafnya ke Gedung MNC di mana Studio Radio Trijaya berlokasi. Sekitar satu jam Jokowi kami wawancarai langsung di Studio Radio Trijaya menjelaskan tentang Mobil Esemka. Dua kali Walikota Jokowi datang ke Studio Rasio Trijaya. Kami mengundang Jokowi karena menilai sebagai sosok pekerja dan tidak keberatan menjadi ikon acara Radio Trijaya, yaitu Indonesia Bersaing. Acara Indonesia Bersaing sudah lama mengudara mengangkat optimisme bahwa Indonesia dengan keberadaan dan kemampuannya mampu bersaing dengan dunia luar.

Kehadiran Jokowi yang mengendarai Mobil Esemka ke Studio Radio Trijaya dan pemberian piagam sebagai Tokoh Indonesia Bersaing oleh saya diliput banyak media cetak, online dan televisi di halaman Gedung MNC. Meskipun Radio Trijaya itu waktu mengundang Jokowi sebagai tokoh yang menjadi berita karena kinerjanya yang baik sehingga populer tetap tidak membayangkan, kemdian hari menjadi orang nomor satu di Indonesia. Namun demikian ketika menjadi pembicaraan bahwa Jokowi layak memimpin Jakarta kami punya keyakinan akan berhasil.
Sehingga untuk kedua kalinya Radio Trijaya mengundang Jokowi ke studio dalam acara Tokoh Bicara guna membahas peluang jadi Gubernur DKI Jakarta. Jokowi enggan menjawab meskipun penyiar bersaha mengoreknya. Ketika itu memang PDIP dikabarkan mendukung incumbent Fauzi Bowo atau Fokek, bukan Jokowi. Sebelum malam itu Jokowi datang ke Studio Radio Trijaya Jakarta, paginya hadir dalam acara PDIP di kediaman Ibu Megawati, Jl. Teuku Umar, Jakarta dan sorenya bertemu Prof. Hamdi Muluk dari Universitas Indonesia untuk suatu diskusi.
Untuk kedua kali saya menyerahkan piagam kepada Jokowi di studio Radio Trijaya, yaitu piagam Tokoh Bicara. Kemudian hari Jokowi menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dua periode menjadi Presiden Republik Indonesia.

Dari catatan saya tersebut, tentang Kecamatan Seputih Banyak dengan pengalaman saya pernah kecil di sana, sebagai wartawan pernah bertemu mewawancarai Jokowi kemudian Jokowi melintas di Seputih Banyak, sebetulnya, suatu kebetulan saja. Namun kebetulan itu menarik buat saya sehingga saya menulis Seputih Banyak, Saya dan Jokowi.
(Angkasa Yudhistira)