Kawilarang sempat terbesit berkeinginan dalam hati untuk mati saja, sampai akhirnya dia teringat pesan ibunya untuk selalu berdoa. Ia sempat ditinggalkan dengan posisi tergantung dengan tangan terikat di belakang. Tapi mentalnya juga turut tersiksa mendengar jeritan tawanan lain di kamar sebelah.
Siksaan Kawilarang pada hari nahas itu hanya sampai situ. Setelah ikatannya dilepas, tubuh Kawilarang langsung roboh tak berdaya. Setelah diperintahkan berdiri, Kawilarang “dipersilakan” keluar dari kamp tahanan.
Sebelum kembali bekerja di pabrik karet, dia sempat berobat lebih dulu. Para pegawai lain yang melihat bekas-bekas lukanya, seolah sudah maklum.
Sialnya pada Juni 1944, Kawilarang kembali terjaring razia yang kali ini dilakukan Keimubu (Polisi Jepang). Siksaan yang pernah dilakukan Kempeitai sebelumnya, dirasakan Kawilarang lagi.
Mulutnya dipaksa dijejali air 20 ember yang kemudian, tubuhnya diinjak-injak. Penyiksaan “waterproof” ini dilakukan berulang-ulang kali.
Seolah tidak puas, pemukulan juga dialami, sekaligus perutnya ditusuk-tusuk garpu. Luka di perut ini tak pernah hilang hingga akhir hayatnya.
Kawilarang akhirnya dilepas lagi setelah ditahan 40 hari dan menjalani 17 kali penyiksaan. Kabar Jepang akan kembali melakukan razia terdengar Kawilarang, namun ia beruntung karena Jepang keburu menyerah pada sekutu pada 15 Agustus 1945.
Berita Proklamasi 17 Agustus 1945 juga didengarnya via radio sehari setelahnya. Sejak saat itu, Kawilarang pilih mengabdikan dirinya pada republik yang baru lahir – tidak kembali jadi perwira KNIL.
Perjuangan Kawilarang bersama anak-anak (pasukan) Siliwangi di masa revolusi fisik 1945-1949 menorehkan sejarah. Hingga kemudian menjadi perintis Komando Pasukan Khusus (Kopassus), satuan elite TNI AD.
(Arief Setyadi )