JAKARTA - Selama pandemi Covid-19, rentang Januari 2020 hingga Juni 2023, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mencatat lebih dari 2.300 isu hoaks Covid-19 atau infodemik tersebar di media sosial.
Hoaks menimbulkan masalah dalam penanggulangan Covid-19, antara lain keengganan masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, persepsi bahwa pandemi hanyalah konspirasi, dan keragu-raguan terhadap vaksinasi Covid-19.
Infodemik juga memicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap otoritas kesehatan dan melemahkan upaya penanganan kesehatan masyarakat. Sekitar 48 persen warga terbilang rentan serangan hoaks, karena belum mampu bedakan hoaks dari informasi yang dapat dipertanggung jawabkan.
Sementara, 37 persen warga melaporkan mengidentifikasi hoaks di gawai dalam beberapa bulan terakhir. Kebanyakan warga mengidentifikasi hoaks dari sumber tidak jelas (58 persen), konten tak masuk akal (51 persen), judul berlebihan (38 persen) atau memicu emosi (36 persen).
Demikian hasil survei UNICEF Nielsen di Kwartal 1 2023 yang melibatkan 2.000 responden terpilih acak di 6 kota besar di Indonesia (Medan, Jabodetabek, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Makassar). Bagi mereka yang menerima hoaks, kebanyakan mengabaikan saja (48 persen) atau segera menghapus (25 persen). Sekitar 18 persen warga mengaku menghindari atau memblok sumber (18 persen).
Ternyata masih sedikit yang aktif mencari informasi untuk memastikan (sekitar 14 persen). Apalagi, yang melaporkan pada kanal yang tersedia (0,1 persen) agar tidak menyesatkan, edukasi anti hoaks mesti terus digalakkan. Apalagi, perilaku sehat belum terbangun kuat.
Survei yang sama menunjukkan baru 10 persen warga beraktivitas fisik minimal 30 menit sehari, 29 persen menghindari minuman manis, dan 57 persen tidak merokok. Yang memperumit masalah, sekitar 63 persen warga ternyata masih kental berparadigma fatalis di mana mereka mengatakan sakit adalah takdir yang tidak bisa dicegah.