GEORGIA - Hingga 2.000 pengunjuk rasa anti-LGBT menyerbu festival kebanggaan gay di ibu kota Georgia, Tbilisi pada Sabtu (8/7/2023). Mereka memaksa festival itu dibatalkan.
Pengunjuk rasa sayap kanan, termasuk pendeta Kristen Ortodoks, bentrok dengan polisi, bergegas ke panggung dan membakar bendera pelangi.
Penyelenggara dan presiden Georgia menyalahkan pidato kebencian anti-LGBT yang mendahului acara tersebut, dan mengatakan polisi telah gagal melindungi pengunjung festival. Seperti diketahui, Homofobia tetap marak di Georgia.
Presiden Salome Zurabishvili mengatakan partai Georgian Dream yang berkuasa telah gagal mengutuk para pengikutnya yang secara terbuka menghasut agresi terhadap aktivis LGBT.
Menteri Dalam Negeri Alexander Darakhvelidze, bagaimanapun, berpendapat bahwa wilayah yang luas itu sulit untuk diawasi polisi.
"Ini area terbuka, peserta aksi berhasil melewati pengamanan dan mencari jalan lain untuk masuk ke area acara," ujarnya, dikutip BBC.
"Namun kami berhasil mengevakuasi peserta festival Pride dan penyelenggara dari daerah tersebut, tidak ada yang dirugikan," tambahnya.
Kantor berita Reuters melaporkan para peserta acara tersebut dibawa ke tempat yang aman.
Pengunjuk rasa sayap kanan juga dengan kasar mengganggu festival Pride di Tbilisi pada 2021, menyerang jurnalis dan aktivis LGBT.
Penyelenggara Pride 2023, Mariam Kvaratskhelia, mengatakan telah terjadi "mobilisasi massa" kelompok sayap kanan jelang acara tahun ini. Dia mengatakan kelompok-kelompok itu secara terbuka menghasut kekerasan.
"Kami telah memberitahu kementerian dalam negeri dan polisi untuk segera memulai penyelidikan, tetapi mereka tidak melakukannya," katanya kepada Reuters.
Dia juga menuduh protes itu adalah tindakan terkoordinasi antara pemerintah dan kelompok radikal untuk menyabotase pencalonan Georgia di Uni Eropa (UE). Namun dia tidak memberikan bukti khusus untuk klaim ini.
Para penentang menuduh pemerintah Georgian Dream condong ke Moskow, meskipun Georgia sudah lama berambisi untuk bergabung dengan UE.
Protes massal pada Maret lalu berubah menjadi kekerasan atas rancangan undang-undang bergaya Rusia yang akan mengklasifikasikan kelompok non-pemerintah dan media sebagai "agen asing" jika mereka menerima lebih dari 20% dana mereka dari luar negeri.
Bentrokan dengan polisi di luar parlemen menyebabkan pemerintah membatalkan RUU tersebut.
(Susi Susanti)