Advertisement
Advertisement
Advertisement
INFOGRAFIS INDEKS
Advertisement

Asal Usul Jalan RE Martadinata Jakarta Utara

Cita Zenitha , Jurnalis-Rabu, 26 Juli 2023 |08:03 WIB
Asal Usul Jalan RE Martadinata Jakarta Utara
Ilustrasi (Foto: Okezone)
A
A
A

JAKARTA- Asal usul jalan RE Martadinata Jakarta Utara menarik untuk dibahas. Pasalnya, jalan yang membentang 6,1 km menghubungkan Stasiun Tanjung Priok dan Pademangan ini ternyata menyimpan kisah mistis.

Hal itu berawal saat jalan RE Martadinata kerap memakan korban pada zaman Belanda. Sebagai lokasi maut banyak pengendara yang melintasi jalan RE Martadinata mengalami kecelakaan.

Hal ini membuat masyarakat ingin tahu asal usul Jalan RE Martadinata Jakarta. Adapun, jalan ini berasal dari nama seorang laksamana sekaligus pahlawan Indonesia bernama R.E Martadinata.

Sebelumnya jalan ini bernama De Priok Weg yang secara harfiah artinya Jalan Priok. Namun, tidak sedikit juga masyarakat yang menyebutnya dengan “Jalan Ancol”.

Sejak abad ke-19, De Priok Weg terkenal sebagai jalan dengan tanah yang dikeraskan. Memasuki tahun 1920 pemerintah Belanda terus mempercantik jalan ini dengan melakukan pengaspalan. Tujuannya untuk mempermudah aktivitas perdagangan.

Sebab De Priok Weg merupakan salah satu akses utama untuk menuju Pelabuhan Tanjung Priok. Perbaikan jalan terus dilakukan secara bertahap. Publikasi Hindia Belanda pada tahun 1926 merangkum perbaikan perbaikan De Priok Weg.

Kabarnya perbaikan De Priok Weg memakan dana yang tidak sedikit. Hal ini sebanding dengan kualitas jalan yang sangat baik. Bahkan De Priok Weg dinobatkan sebagai jalan berkualitas di dunia.

Namun setelah perbaikan, De Priok Weg justru banyak memakan korban jiwa. Suasana De Priok Weg yang tergolong sepi membuat pengendara melakukan kendaraannya dengan cepat. Belum lagi karakteristik permukaan aspal yang licin membuat pengendara kesulitan mengendalikan kecepatan.

Kecelakaan di jalan De Priok Weg tidak dapat terhindarkan. Masyarakat sekitar menyebut De Priok Weg sebagai “Jalan Maut”.

Rentang tahun 1920 sampai 1926 mencuat mitos bahwa pengendara harus menyalakan klakson sebanyak tiga kali ketika melewati jalanan ini. Masyarakat percaya pengendara yang tidak membunyikan klakson khususnya pada malam hari akan mengalami kecelakaan.

Untuk menghilangkan mitos tersebut, masyarakat Tionghoa dari glodok membuat “Tepekong” yang tidak jauh dari jalan ini. Tepekong adalah tempat berdoa supaya pengendara terhindar dari kecelakaan yang disebabkan makhluk halus.

(RIN)

 

(Rani Hardjanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita news lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement