JAKARTA - Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid Meutya mendorong Pemerintah untuk hadir dalam mendukung pengobatan infertilitas bagi masyarakat. Di Indonesia saat ini ada 4,8 juta perempuan yang sedang merapatkan barisan dalam pertarungan melawan infertilitas.
Selain itu, dorongan itu juga berkaca dari pengalaman pribadinya yang mengalami masalah serupa. Meutya memutuskan untuk menggunakan pengalamannya untuk membantu banyak pasangan lain yang berharap untuk memiliki anak. Ia menyerukan tindakan nyata dan perubahan sikap masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
“Masalah fertilitas atau kesuburan hingga saat ini belum termasuk masalah kesehatan yang ditanggung atau dibantu oleh Pemerintah, padahal infertilitas secara resmi telah diakui sebagai penyakit oleh WHO, dan kesehatan reproduksi merupakan hak setiap warga negara. Dengan demikian, sudah seharusnya negara seharusnya hadir untuk mendukung pengobatan infertilitas,” ucap Meutya, Senin (13/11/2023).
Meutya mengajak semua pihak untuk bersama-sama memperjuangkan hak-hak pasangan yang sulit mendapatkan keturunan. Dengan memperhatikan isu ini, pemerintah diharapkan dapat lebih aktif dalam menyediakan akses terhadap perawatan infertilitas dan mengakui pentingnya kesehatan reproduksi sebagai hak asasi manusia.
Saking konsennya terhadap persoalan tersebut, Meutya menulis buku 'LYORA: Keajaiban yang Dinanti'. Dia menceritakan perjalanan pribadinya meraih keajaiban setelah sepuluh kali percobaan bayi tabung. Selain membagikan perasaan putus asa yang mengiringi setiap upaya bayi tabung yang gagal, Meutya juga menyoroti pentingnya perubahan dalam pendekatan masyarakat dan pemerintah terhadap infertilitas.
Perjalanan dimulai pada saat Meutya berumur 37 tahun menjalani program bayi tabung IVF bersama sang suami Noer Fajrieansyah yang sempat mengalami 3 kali hamil, tetapi keguguran dikarenakan janin dan embrio tidak berkembang dengan baik. Di tengah perjuangan pribadi ini, Meutya bertemu dengan Dr. dr. Ivan R. Sini, GDRM MMIS FRANZCOG Sp.OG yang membantunya menjalani program tersebut.
Bersama Dr. Ivan, mereka memutuskan untuk tidak menyerah dan terus mencoba prosedur bayi tabung, diiringi dengan dukungan terus menerus dan pendekatan perawatan yang holistik yang berfokus tidak hanya pada kesehatan fisik tetapi juga pada kesehatan mental dan emosional.
“Alhamdulillah, akhirnya saya berhasil hamil pada usia 44 tahun dan dikarunia putri bernama Lyora Shaqueena Ansyah,” ungkap Meutya.
Menurut Meutya, ada beberapa alasan mengapa pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit ini menjadi penting. Pertama akses ke perawatan medis yang tepat. Dengan mengakui infertilitas sebagai penyakit, individu yang mengalami masalah kesuburan akan memiliki akses yang lebih baik ke perawatan medis yang tepat. Pengakuan ini dapat memastikan bahwa layanan kesehatan yang diperlukan, seperti diagnosis, pengobatan, dan perawatan reproduksi, tersedia dan dapat diakses dengan mudah.
Kedua, peningkatan dukungan psikologis. Infertilitas dapat memiliki dampak emosional yang signifikan pada individu dan pasangan yang mengalaminya. Pengakuan resmi terhadap infertilitas sebagai penyakit dapat membantu mengurangi stigma sosial dan meningkatkan dukungan psikologis bagi individu yang mengalami masalah kesuburan.
“Ini dapat melibatkan dukungan kelompok, konseling, dan sumber daya lainnya yang dapat membantu individu dan pasangan menghadapi tantangan emosional yang terkait dengan infertilitas,” ucapnya.