JAKARTA-Berdasarkan artikel yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), nilai impor Indonesia mencapai USD237.447,1 juta pada 2022 atau naik sebesar 21,03 persen. Salah satu kegiatan impor adalah melalui mekanisme barang kiriman. Bea Cukai mencatat bahwa sebagian besar barang kiriman berasal dari penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PPMSE) atau e-commerce dengan persentase mencapai 90 persen.
Tren belanja online melalui PPMSE menimbulkan peningkatan aktivitas impor melalui barang kiriman. Tingginya arus barang melalui barang kiriman dapat mengakibatkan praktik under invoicing, terutama terhadap barang kiriman hasil perdagangan. Praktik under invoicing adalah modus pelanggaran dengan memberitahukan harga di bawah nilai transaksi. Praktik ini tentu menimbulkan potensi kerugian bagi penerimaan negara. Selain itu, praktik under invoicing bisa mengancam industri dalam negeri, karena barang impor bisa beredar dengan harga lebih murah. Murahnya harga barang disebabkan karena importir tidak membayar bea masuk dan pajak dalam rangka impor dengan semestinya.
Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 96 tahun 2023 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak Atas Impor dan Ekspor Barang Kiriman untuk penertiban proses bisnis impor barang kiriman, termasuk untuk menindaklanjuti adanya indikasi praktik under invoicing. Strategi yang dilakukan adalah menambahkan skema self assessment untuk barang kiriman hasil perdagangan, yang mana terdapat konsekuensi denda ketika terdapat under invoice. Sementara untuk barang kiriman nonperdagangan tetap menggunakan official assessment tanpa ada konsekuensi denda.
BACA JUGA:
Berdasarkan PMK nomor 96 tahun 2023, barang kiriman adalah barang yang dikirim melalui penyelenggara pos sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pos. Barang kiriman dibagi menjadi dua, yaitu barang hasil perdagangan dan barang selain hasil perdagangan. Barang kiriman hasil perdagangan adalah barang hasil transaksi perdagangan melalui PPMSE, penerima barang atau pengirim barang merupakan badan usaha, dan terdapat bukti transaksi berupa invoice atau dokumen sejenis lainnya.
Bea Cukai melakukan pemeriksaan pabean secara selektif terhadap barang kiriman berdasarkan manajemen risiko. Pemeriksaan pabean meliputi pemeriksaan fisik barang dan penelitian dokumen. Pemeriksaan fisik dilakukan oleh Pejabat Bea Cukai dengan disaksikan oleh penyelenggara pos yang bersangkutan. Sementara penelitian dokumen dilakukan oleh Pejabat Bea Cukai dan sistem komputer pelayanan (SKP).
“Setelah melakukan pemeriksaan pabean, akan terbit penetapan tarif dan nilai pabean berdasarkan hasil pemeriksaan pabean oleh Pejabat Bea Cukai atau SKP. Jika hasil penetapan mengakibatkan kekurangan pembayaran bea masuk, maka importir wajib melunasi kekurangan tersebut,” ujar Kepala Subdirektorat Humas dan Penyuluhan Bea Cukai, Encep Dudi Ginanjar.