“Meskipun masih ada perbaikan dalam masyarakat, keputusan hari ini merupakan pertanda baik bahwa suara para penyintas kekerasan seksual di Jepang tidak akan diabaikan, dan bahwa akuntabilitas atas pelanggaran hak asasi manusia dapat dilakukan,” ujar Kanae Doi, Direktur Human Rights Watch Jepang kepada BBC.
“Survei pemerintah tahun 2021 menunjukkan bahwa sekitar enam persen korban penyerangan – baik laki-laki maupun perempuan – melapor ke polisi, sementara hampir separuh responden [perempuan] mengatakan mereka tidak bisa melaporkannya karena 'malu',” lanjutnya.
Pada Agustus 2021, tiga rekan laki-laki menjepit Gonoi ke tempat tidur, membuka paksa kakinya dan secara bergantian menekan selangkangan mereka berulang kali ke tubuhnya.
Dia sebelumnya mengatakan kepada BBC bahwa meskipun sekitar selusin rekannya juga hadir pada saat itu, tidak ada yang menghentikan perbuatan ketiganya.
Gonoi melaporkan kejadian tersebut kepada atasannya tetapi pengaduannya ditolak karena dia tidak dapat memperoleh kesaksian apa pun.
Kemudian, ketiga pria tersebut dirujuk ke jaksa karena dicurigai melakukan penyerangan tidak senonoh yang dilakukan oleh unit polisi Pasukan Bela Diri Darat (GSDF), namun kasus tersebut dibatalkan karena kurangnya bukti. Gonoi akhirnya meninggalkan militer.
Video YouTube-nya menjadi viral pada tahun lalu dan dia mengumpulkan lebih dari 100.000 tanda tangan untuk petisi yang meminta Kementerian Pertahanan menyelidiki kasusnya. Kementerian tersebut kemudian meminta maaf kepadanya dan meluncurkan penyelidikan langka yang menurut para pejabat menemukan lebih dari 100 pengaduan pelecehan lainnya di seluruh kementerian.
Namun seiring dengan publisitas tersebut, muncul pula rentetan pelecehan online – dan bahkan ancaman pembunuhan.