JAKARTA - Pemberontakan mewarnai selama pemerintahan Jayanagara bertahta. Raja kedua Majapahit itu memang naik tahta dengan beberapa catatan minor. Pasalnya Jayanagara harus menghadapi permusuhan dua wangsa yang cukup kuat di internal Majapahit.
Kedua wangsa yakni Wangsa Sinelir yang juga melatarbelakangi Jayanagara, dengan Wangsa Rajasa, yang menjadi latarbelakang pendiri Majapahit Raden Wijaya yang bergelar Kertarajasa Jayawardhana. Peristiwa penyerangan Lamajang dan pembunuhan Mpu Nambi, mahapatih pertama Majapahit membuat pendukung Wangsa Rajasa terus merongrong dan berusaha memberikan perlawanan bagi Jayanagara.
Pemberontakan Ra Kuti menjadi upaya pertama yang dihadapi Jayanagara, selanjutnya beberapa pergolakan politik membuat internal keamanan Kerajaan Majapahit begitu tergoncang. Mansur Hidayat, pada buku "Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru" mengisahkan pemerintahan Raja Jayanagara dan Wangsa Sinelir yang mendukungnya dibuat kerepotan dan tidak mampu lagi menampung kekuatan Wangsa Rajasa. Bahkan Jayanagara kian tak mendapat simpati dari masyarakat Majapahit.
Kakawin Pararaton menjelaskan bagaimana mahapatih pengganti Mpu Nambi yang bernama Dyah Halayuda dianggap gagal menjalankan tugasnya dan bertanggung jawab atas munculnya pemberontakan yang terus bermunculan, sampai mengancam jiwa Jayanagara.
Bahkan Prasasti Sidateka mengemukakan Dyah Halayuda akhirnya diturunkan dari jabatannya sebagai Mahapatih Majapahit, setelah empat sampai lima tahun dari peristiwa pemberontakan Kuti terjadi. Konon dipecatnya jabatan Dyah Halayuda dari Mahapatih Majapahit tak lepas dari ketidakberhasilannya menyetabilkan kondisi internal di Kerajaan Majapahit.