DUA kelompok sumber daya manusia ini biasanya hadir dalam setiap organisasi keagamaan dan menjadi keunikan saat mengelola tempat ibadah dan menjalankan kegiatan peribadatan sehari-hari. Pertama adalah tenaga profesional yang khusus dibayar untuk bekerja menjaga, merawat dan memimpin kegiatan ibadah. Satu lagi adalah pengurus organisasi keagamaan yang bekerja karena keikhlasan dan harapan mendapatkan pahala dari Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Ya, organisasi keagamaan yang menjadi fokus bahasan ini adalah Dewan Kemakmuran Masjid atau biasa disingkat DKM di tempat saya tinggal di wilayah Jakarta Timur. Dua kata yang disampaikan pengurus lama dalam sambutan pembuka saat serah terima jabatan pergantian pengurus Agustus 2023 lalu. “Tidak mudah,’’ ujar Ketua DKM. Semula, saya tidak percaya kata-kata Ketua DKM dan meyakini dengan pengalaman di sejumlah organisasi, beragam teori mengenai manajemen dan komunikasi, dapat menjalankan organisasi secara efektif guna mencapai tujuan.
Sebut saja pendekatan manajemen klasik yang biasa digunakan dalam bidang manajemen yaitu teori yang digagas Henry Fayol. Teoris sekaligus industrialis asal Prancis ini menyampaikan sejumlah elemen manajemen untuk mengelola organisasi yaitu perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan (commanding), pengkoordinasian (coordinating) dan pengendalian (controlling). Pemahaman akan teori Fayol dan pengalaman penerapan di organisasi sebelumnya menjadi pondasi dalam penyusunan rencana kerja dan program kerja DKM.
Dari sisi struktur organisasinya, penyusunan pengurus baru juga selaras dengan penerapan teori birokrasi Weber. Susunan pengurus DKM dibuat efisien dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi. Selain dibuat simple, organisasi juga disusun sesuai kepentingan untuk beribadah, dakwah, penggalangan dana dan sarana prasarana. Memang tidak sempurna, tetapi struktur organisasi yang menganut prinsip Weber ini tetap disesuaikan dengan kebutuhan dan jamaah yang ada.
Namun, apakah kegiatan rencana dan program kerja berjalan secara ideal? Jawabannya, tidak. Tingkat partisipasi dan keaktifan seluruh pengurus rendah sehingga kegiatan dan pengelolaan masjid hanya ditangani segelintir orang atau pengurus inti. Satu contoh, misalnya kegiatan pengajian rutin usai salat Subuh di akhir bulan tidak bisa melibatkan banyak pengurus, hanya sedikit yang aktif mengelola kegiatan. Mulai dari perencanaan untuk penentuan jadwal, ustaz pengisi pengajian, persiapan acara hingga konsumsi pun tidak terlaksana dengan baik. Seharusnya kehadiran pengurus dalam pengajian bukan sebagai jamaah biasa yang hadir untuk mendengarkan tausiah saja, tetapi justru mempersiapkan dan melayani. Kondisi yang terjadi ini bukan menjadi pangkal untuk saling menyalahkan atau mencari pembenaran. Perlu pemahaman yang berbeda saat menghadapi sejumlah masalah di organisasi keagamaan.
Aspek religiositas menjadi salah satu faktor yang turut menentukan tingkat partisipasi dan keaktifan pengurus. Dari kata asli religion yang artinya kepercayaan atau agama, religiositas adalah tingkat kesalehan atau tingkat pengabdian kepada agama. Mengapa kadar religiositas menjadi penentu, seperti disampaikan di awal tulisan, pengurus masjid bukanlah profesional yang dibayar atau mendapat gaji.
Pengurus inti memang tidak memiliki kekuatan atau daya paksa meminta jajaran pengurus untuk aktif mengelola kegiatan ibadah, muamalah dan merawat sarana prasarana masjid. Jika cara memaksa digunakan, maka akan banyak pengurus yang memilih untuk mundur dari organisasi. Pasalnya, bagi dirinya, menjadi pengurus DKM berdasarkan keikhlasan dan bukan gaji. Makin tinggi kadar religiositas yang tercermin dari kehadiran di masjid saat salat lima waktu, hadir di pengajian dan aktif di kegiatan masjid lainnya maka tugas dan kewajiban pengurus sesuai bidangnya tersebut akan lancar dan efektif.
Berbeda dengan posisi marbot, imam dan guru ngaji yang memang mendapatkan gaji bulanan dari pengurus DKM. Pengurus bisa memaksa petugas marbot, imam masjid dan guru ngaji melaksanakan tugasnya dengan baik. Apabila ketiga orang tadi melakukan wanprestasi, maka ancamannya adalah diberhentikan dan diganti dengan yang lain.
Pendekatan lain yang dapat digunakan untuk memahami tingkat partisipasi dan keaktifan pengurus organisasi keagamaan adalah Teori Hierarki Kebutuhan Abraham Maslow. Bekerja dalam tataran pemahaman akan human relations, teori Maslow menunjukkan bagaimana individu akan terdorong untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi hanya setelah kebutuhan yang lebih rendahnya telah terpenuhi.
Dalam konteksi organisasi, ada lima tingkatan kebutuhan dasar yang dipenuhi yaitu pertama kebutuhan fisiologis (physiological needs) atau kebutuhan terkait tubuh manusia, misalnya makanan, air, tidur, dan kepuasan indera. Kedua, kebutuhan rasa aman (safety needs) yang mencakup terbebas dari bahaya dan ancaman lingkungan. Ketiga, adalah kebutuhan afiliasi (affiliation needs) yang sering disebut kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang. Keempat, kebutuhan akan penghargaan (esteem needs) yaitu kebutuhan baik berupa prestasi maupun prestise. Terakhir adalah kebutuhan aktualisasi diri (need for self-actualization). Maslow mendefinisikan kebutuhan ini sebagai keinginan untuk menjadi apa yang anda mau sehingga bisa bertanggungjawab dan kreatif dalam melaksanakan tugas.
Dengan pemahaman teori Maslow, jajaran pengurus DKM bisa memahami apabila ada individu-individu yang belum bisa aktif dan berpartisipasi dalam kegiatan di organisasi karena masih berusaha memenuhi kebutuhan yang sifatnya fisiologis atau kebutuhan dasar fisik manusia hingga afiliasi. Dengan kata lain, apabila secara ekonomi dan sosial, kebutuhan pengurus tersebut telah terpenuhi, maka akan lebih mudah dan sepenuh hati mereka mengabdi demi kepentingan agama.
Dari pemaparan kedua hal tersebut baik aspek religiositas dan teori hierarki kebutuhan Maslow, kita dapat menjadikan keduanya sebagai alat untuk memahami mengapa ada pengurus Dewan Kemakmuran Masjid yang aktif dan tidak aktif. Lalu cara apa yang bisa ditempuh agar pengurus kembali aktif? Cara pertama adalah Ketua DKM secara aktif menjalin komunikasi dan mengingatkan individu tersebut akan tugas yang menjadi tanggungjawabnya. Kedua mengajaknya untuk aktif kembali di masjid dan bersama pengurus lain beribadah dan menjalankan tugasnya.
Apabila tidak berhasil, maka dengan terpaksa mencari pengganti dengan kriteria orang yang baru memiliki kadar religiositas yang tinggi dan secara kebutuhan dasarnya telah terpenuhi sehingga bisa berkomitmen memberikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk organisasi. Meskipun kedua langkah ini dilaksanakan, memang tidak ada jaminan masing-masing pengurus akan aktif di masjid dan melaksanakan tugas dan kewajibannya. Seperti halnya yang disampaikan pengurus sebelumnya. Dalam mengelola organisasi keagamaan dan tempat ibadah memang tidaklah mudah.
Frans Ruffino A, Mahasiswa Magister Paramadina Graduate School of Communication
(Qur'anul Hidayat)