Kekuatan yang tidak seimbang antara pasukan marsose Belanda dan pasukan Cut Meutia membuat banyak kerabat dan teman dekat Cut Meutia mulai merasa cemas. Mereka mengusulkan agar ia menyerah dan meminta pengampunan dari Belanda. Namun usulan itu ditolak mentah-mentah oleh Cut Meutia. Ia bertekad akan berjuang sampai mati.
Pada 1903, Sultan Mahmud Daud Syah terpaksa menyerah kepada Belanda. Peristiwa itu disusul dengan menyerahnya raja-raja lain, seperti pasukan yang dipimpin oleh Panglima Polim.
Namun Cut Meutia tidak sedikitpun mengendurkan perjuangannya. Pada suatu hari tempat persembunyian Cut Meutia tercium oleh Belanda. Marsose menyerbu tempat persembunyian. Tanggal 24 Oktober 1910, posisi Cut Meutia terkepung. Namun, ia tidak mau menyerahkan diri.
Zentgraaff menuliskan, “Saya melihat rupa wanita putih kuning itu dengan wajahnya yang cerdas, didorong oleh perasaannya yang menyala-nyala untuk tewas sebagai seorang syahid. Dengan mata yang liar dan rambut yang terurai di kepalanya, ia mengayunkan kelewangnya menyerbu kami,” tulisnya.
Dengan hanya bersenjata sebilah rencong dan pedang, ia maju paling depan untuk memimpin pasukannya. Cut Meutia menyerang, menebas dan menerjang lawan tanpa rasa gentar. Banyak pasukan Belanda yang tewas.
Di tengah pertempuran, tiga kali suara letusan, tiga butir peluru marsose menembus badan Cut Meutia, dua terkena badan, satu menembus kepala. Cut Meutia gugur di medan pertempuran sebagai pejuang dari tanah rencong.
(Qur'anul Hidayat)