MALANG - Kerajaan Mataram Kuno minim meninggalkan karya sastra yang diwariskan, karena diduga terkubur letusan Gunung Merapi. Letusan dahsyat Gunung Merapi itu, juga yang membuat pusat ibu kota kerajaan terpaksa dipindahkan dari Jawa Tengah menuju Jawa Timur.
Konon dari beberapa karya sastra di masa Kerajaan Mataram kuno, kitab Ramayana Kakawin menjadi yang dikenal. Tapi ada beberapa sumber yang menyebut Ramayana Kakawin ini merupakan gubahan dari cerita Mahabarata dan Ramayana, yang terkenal dari India.
Karya sastra Ramayana Kakawin sendiri konon memiliki keindahan bahasa, meski tidak diketahui dengan pasti siapa yang melakukan gubahan tersebut. Di kitab itu sang pujangga mampu untuk menerapkan ilmu persajakan bahasa Sansekerta dalam bahasa Jawa kuno, yang masuk keluarga bahasa yang lain dari bahasa Sanskerta.
Dijelaskan dari buku "Sejarah Nasional Indonesia II : Zaman Kuno" identifikasi waktuu Rāmāyana Kakawin, konon berasal dari pertengahan abad IX, atau permulaan abad X M. Hal itu kita diketahui berkat penelitian Poerbatjaraka, ahli filolog Indonesia yang mendasarkan pendapatnya atas kosakata, tata bahasa, terutama adanya bentuk-bentuk yang dikonjugasikan, dan terdapatnya nama-nama jabatan pemerintahan yang sama dengan jabatan-jabatan yang ada di dalam prasasti-prasasti sebelum Pu Sindok.
Poerbatjaraka kemudian menegaskan kembali pendapatnya dengan mengatakan bahwa Rāmāyana Kakawin, digubah dalam masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung. Karena sekarang berdasarkan Prasasti Siwagrha diketahui bahwa Candi Loro Jonggrang ditahbiskan pada tahun 856 M, maka pendapat itu identik dengan penafsiran Poerbatjaraka.
Sayangnya Kitab Rāmāyana Kakawin ialah satu-satunya hasil susastra dari masa sebelum Pu Sindok yang sampai kepada generasi saat ini. Sebabnya dugaannya sat itu kemungkinan karya sastra itu tidak diturunkan ke generasi berikutnya, karena tidak suka. Pada waktu itu menurun karya sastra ialah satu-satunya cara untuk memperbanyaknya.
Karena karya sastra itu, seperti yang dapat disimpulkan dari keterangan-keterangan di dalamnya, ditulis di atas bahan yang tidak tahan lama, yaitu karas atau mungkin sama dengan semacam batu tulis atau bambu yang dibelah. Karya sastra yang tidak disukai lagi, tentunya lama-lama hancur dan kemungkinan besar hilang.