Para ahli seperti Chandima Fernando merekomendasikan metode yang lebih sederhana dan ramah, seperti budidaya buah jeruk atau tanaman lain yang tidak menarik perhatian gajah.
Diperkirakan 5.800 gajah berkeliaran di habitat yang dilindungi di Sri Lanka. Yakni di lahan basah, padang rumput, dataran tinggi, dan semak belukar, meskipun beberapa ahli khawatir jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih sedikit.
Seekor gajah biasanya berkeliaran hingga 48 km sehari, dan berada di dekat air tawar. Mereka tidak akan berjalan jauh kecuali mereka kehabisan makanan.
Namun ketika hal ini terjadi, misalnya karena kekeringan di kawasan lindung, mereka akan beralih ke peternakan terdekat.
Pemerintah sendiri telah memperingatkan masyarakat agar tidak mendorong kembali gajah-gajah yang berkeliaran di luar kawasan lindung, karena menyusutnya hutan tidak dapat menampung terlalu banyak gajah.
Satu dekade lalu, Sri Lanka kehilangan sekitar 250 gajah setiap tahunnya. Namun jumlahnya meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir dan angka kematian kini melebihi 400 untuk tahun kedua berturut-turut. Prithviraj Fernando mengatakan jika kematian gajah terus meningkat seperti saat ini, maka 70% gajah di Sri Lanka akan punah.
Yang juga mengkhawatirkan para ahli adalah banyaknya gajah jantan yang mati, sehingga membahayakan kelangsungan hidup spesies tersebut. Para gading sering berkeliaran sendirian di daerah pedesaan, sehingga membuat mereka lebih rentan.
Chandima Fernando mengatakan beberapa wilayah di Sri Lanka tengah belum melaporkan satu pun penampakan gajah jantan dalam beberapa tahun terakhir. Sebelum pandemi, penampakan gajah adalah hal biasa.
Para peneliti mengatakan meskipun kematian gajah di luar kawasan lindung sudah diperhitungkan, mereka tidak cukup mengetahui apa yang terjadi di dalam hutan, yang bisa disebabkan oleh penyakit, pertikaian, atau kekeringan.
(Susi Susanti)