Namun hal ini juga membuat masa depan gajah ikonik Sri Lanka ini terlihat terancam, dengan angka terbaru menunjukkan rekor jumlah kematian pada 2023.
Prithviraj Fernando menjabat sebagai ketua komite resmi yang dibentuk pada tahun 2020 untuk menyusun Rencana Aksi Nasional guna mengurangi dampak konflik manusia-gajah. Rencana ini masih terbengkalai selama beberapa tahun terakhir ketika Sri Lanka mengalami krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun peningkatan tajam jumlah kematian gajah telah menimbulkan rasa urgensi.
Menurut Worldwide Fund for Nature, populasi gajah di negara ini telah menurun hampir 65% sejak pergantian abad ke-19.
Para pegiat konservasi meminta tindakan segera dari pemerintah karena jumlah korban di kedua negara tersebut adalah yang paling mematikan dalam sejarah. Hal ini juga merupakan pengingat akan konsekuensi fatal ketika manusia berpapasan dengan hewan-hewan agung ini.
“Setelah perang saudara berakhir [pada 2009] pemerintah mulai melepaskan [lebih banyak] lahan kepada publik. Ini adalah kawasan yang tidak boleh dikunjungi selama perang,” kata Chandima Fernando, ahli ekologi di Masyarakat Konservasi Sri Lanka. Ia mengatakan hal ini telah membuka lebih banyak lahan untuk pertanian dan pemukiman, sehingga membuat masyarakat lebih sering berinteraksi dengan gajah.
Membunuh gajah, yang terancam punah, dapat dihukum berdasarkan hukum di Sri Lanka karena gajah memiliki nilai agama dan ekonomi. Gajah yang didomestikasi sering kali menjadi bagian dari prosesi keagamaan dan atraksi wisata.
Hal ini tidak menghentikan para petani untuk mengambil tindakan pencegahan yang mematikan untuk melindungi tanaman mereka dan diri mereka sendiri.
Walaupun Sri Lanka memperbolehkan pagar listrik untuk menjauhkan hewan-hewan tersebut, namun muatan listriknya cukup kuat untuk membuat mereka pingsan tanpa menyebabkan cedera serius. Negara ini memiliki pagar listrik sepanjang 5.000 km (3.100 mil), termasuk di sekitar rumah di Thalgaswewa, dan berencana untuk memperluasnya.
Namun para aktivis mengatakan para petani juga secara ilegal memasang pagar dengan tegangan lebih tinggi yang dapat membunuh gajah. Mereka juga menggunakan racun, umpan peledak yang disebut “bom rahang” dan terkadang menembak hewan tersebut untuk mengusir mereka.