JAKARTA - Peneliti Pusat Studi Hukum Kebijakan Indonesia (PSHK), Alviani Sabillah menilai aparat penegak hukum hingga kini masih mengalami keterbatasan dalam memahami pasal-pasal yang berkaitan dengan penghinaan, pencemaran nama, berita bohong, dan ujaran kebencian.
Menurutnya, hal itu terjadi karena tafsiran dari pasal-pasal tersebut terlalu luas.
Hal itu disampaikan Alviani saat hadir dalam acara peluncuran Policy Paper Reformasi Kerangka Hukum untuk Perlindungan dan Peluasan Ruang Gerak Masyarakat Sipil Indonesia di, Rabu (21/2/1014).
"Ada kelonggaran pasal yang dapat ditafsirkan secara luas dan juga ada konteks dan kondisi bahwa aparat penegak hukum masih sangat terbatas sekali pemahamannya untuk menggunakan pasal-pasal tersebut," kata Alviani.
Menurutnya, keterbatasan pemahaman aparat penegak hukum terkait dengan pasal-pasal tersebut berakibat pada terancamnya kebebasan individu untuk mengekspresikan pandangan politiknya atau topik-topik sensitif lainnya. Sebab, aparat penegak hukum tidak bisa membedakan atau melihat mana ekspresi politik dengan tindakan yang terkait dengan pasal-pasal tersebut.
"Sehingga, dalam pelaksanaannya ekspresi politik atau pandangan tertentu, kritis dari masyarakat justru menjadi serangan balik buat mereka yang menyuarakan hak-haknya," ucapnya.